Netralitas ASN

Netralitas ASN Sulsel Pada Pemilu 2024 Kategori Rawan, Ini Hukumannya Jika ASN Terbukti Berpihak

Penulis: Abdul Azis
Editor: Mansur AM
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisioner Bawaslu Sulsel Syaiful Jihad menghadiri Rapat Koordinasi Pengawasan Pemilu dengan Media Massa diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Barru di Hotel Novotel Grand Syahla, Jl Chairil Anwar, Makassar, Rabu 29 November 2023.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulsel memprediksi pelanggaran pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pemilu 2024 masih berpotensi terjadi.

“Indeks kerawanan pemilu di Sulsel itu nomor 4 paling rawan provinsi di Indonesia. Khususnya terkait netralitas ASN. Ini menjadi tantangan bagi bawaslu dan jajaran bekerja mengawasi penyelenggaran pemilu,” kata Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyarakat (Parmas) Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad, saat membuka Rapat Koordinasi Pengawasan Pemilu dengan Media Massa di Hotel Novotel Grand Syahla, Jl Chairil Anwar, Makassar.

ASN sesuai PKPU No 15/2023 salah satu unsur yang tidak boleh berpartisipasi secara aktif dan pasif dalam kampanye.

Bawaslu RI 21 September 2023 lalu merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dengan isu netralitas ASN.

Di mana, Provinsi Sulsel menempati urutan keempat.

Di tingkat provinsi, netralitas ASN jadi isu paling rawan, yakni di 22 provinsi. Sementara itu, di tingkat kabupaten kota, isu netralitas ASN menjadi yang paling rawan di 347 kabupaten kota.

Sepuluh provinsi dinilai menjadi kawasan paling rawan dalam isu ini. Sepuluh provinsi itu meliputi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Lampung.

Saiful Jihad menjelaskan, potensi kerawanan netralitas ASN di Sulsel, misalnya berkaca dari kasus-kasus pelanggaran di Pemilu 2019 lalu.

Seperti kasus 15 camat yang terbukti tidak netral lantaran mendukung pasangan Calon Presiden (Capres) RI.

"Berkaca di Pemilu 2019 dan Pilkada Makassar 2020 penanganan pelanggaran atau laporan maupun temuan tentang ketidaknetralan itu termasuk provinsi yang menjadi jajaran teratas tentang netralitas, termasuk Sulsel peringkat kedua," kata Saiful Jihad kepada Tribun-Timur.com.

Dengan demikian, Saiful Jihad mengaku bahwa wajar-wajar saja jika Sulsel disebut salah satu provinsi tingkat pelanggaran netralitas ASN yang banyak ditemukan.

"Netralisasi ini menjadi sebuah tantangan untuk kita yang kemudian mencoba mendorong agar ASN kita berdiri pada posisi netral karena semestinya undang-undangnya jelas menyebutkan itu tugas harus netral," katanya.

Menurutnya, hasil temuan ini juga menjadi bahan evaluasi bersama.

Bukan hanya dibebankan kepada Bawaslu, namun dari pihak pemerintah daerah, Polri-TNI, hingga instansi terkait untuk sama-sama menjaga netral dalam Pemilu.

Saiful Jihad mengungkapkan, hampir di 24 kabupaten/kota di Sulsel, berpotensi adanya pelanggaran netralitas ASN.

Bahkan yang terbaru, kasus oknum camat di Kabupaten Enrekang yang terbukti tidak netral.

Lalu, temuan adanya 5 ASN melanggar netralitas usai mengkampanyekan bacaleg di media sosial (medsos).

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014, Pasal 2 huruf f tentang ASN jelas tertera, asas, prinsip, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku penyelenggaraan kebijakan, manajemen ASN salah satunya berdasarkan asas netralitas.

Bahkan dalam pasal 280 ayat (2) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain ASN, pimpinan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi sampai perangkat desa dan kelurahan dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Jika pihak-pihak disebutkan tetap diikutsertakan dalam kampanye, maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan dan denda.

Sanksi tersebut tertuang, dalam Pasal 494 UU 7 tahun 2017 yang menyebutkan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang terlibat sebagai pelaksana atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil telah memberikan dukungan dalam penegakan netralitas PNS. PP Nomor 94 Tahun 2021 mengatur lebih rinci larangan bagi PNS terkait netralitas dalam pemilu dan pemilihan yang sebelumnya tidak diatur dalam  PP Nomor 53 Tahun 2010.

Dalam ketentuan Pasal 5 huruf n PP Nomor 94/2021 disebutkan ASN dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota DPR, calon anggota DPD, atau calon anggota DPRD dengan cara: 1). Ikut kampanye; 2). Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; 3). Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; 4). Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 5). Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; 6). Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau 7). Memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.

Terhadap pelanggaran netralitas ASN tersebut diatas, dapat dikenakan hukuman disiplin berat sebagaimana ketentuan pasal 8 ayat 4 PP Nomor 94 tahun 2021 berupa a). Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan; b). pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan; dan c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Sebagai langkah pencegahan yang dilakukan pemerintah menjelang pemilu dan pemilihan serentak yang akan berlangsung tahun 2024, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaiann Negara dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor: 2 Tahun 2022, Nomor: 800-5474 Tahun 2022, Nomor: 246 Tahun 2022, Nomor: 30 Tahun 2022, Nomor: 1447.1/PM.01/K.1/99/2022 tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai Aparatur sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Bentuk pelanggaran dan jenis sanksi atas pelanggaran netralitas ASN yang diatur dalam SKB 5 Menteri/Kepala lembaga antara lain:

Pelanggaran Kode Etik

1) Memasang spanduk/baliho/alat peraga lainnya terkait bakal calon peserta pemilu dan pemilihan;

2) Sosialisasi/kampanye Media Sosial/Online Bakal calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota DPR, calon anggota DPD, atau calon anggota DPRD;

3) Menghadiri deklarasi/kampanye pasangan bakal calon dan memberikan tindakan/dukungan secara aktif;

4) Membuat postingan, commen, share, like, bergabung/follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon;

5) Memposting pada media sosial/media lain yang dapat diakses publik, foto bersama dengan bakal calon, tim sukse dengan menunjukk/memperagakan Simbol keberpihakan/memakai atribut parpol;

6) Ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi/ pengenalan bakal calon peserta pemilu dan pemilihan;

7) Mengikuti deklarasi/kampanye bagi suami atau istri calon dengan tidak dalam status cuti diluar tanggung negara (CLTN).

Pelanggaran Disiplin

1) Memasang spanduk/baliho/alat peraga lainnya terkait bakal calon peserta pemilu dan pemilihan. (Hukuman Disiplin Berat);

2) Sosialisasi/kampanye Media Sosial/Online Bakal Calon peserta pemilu dan Pemilihan (Hukum Disiplin Berat);

3) Melakukan pendekatan kepada Parpol sebagai bakal calon peserta pemilu atau pasangan perseorangan. (Hukum Disiplin Berat);

4) Menghadiri deklarasi/kampanye pasangan bakal calon dan memberikan tindakan/dukungan keberpihakan. (Hukuman Disiplin Berat);

 

5) Menjadi anggota dan/atau pengurus Partai Politik (Diberhentikan tidak dengan Hormat);

6) Membuat postingan, comment, share, like, bergabung/follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu dan pemilihan (Hukuman Disiplin Berat);

7) Memposting pada media sosial/media lain yang dapat diakses publik, foto bersama dengan bakal calon, tim sukses dengan menunjukk/memperagakan simbol keberpihakan/memakai atribut parpol. (Hukuman Disiplin Berat);

8) Mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap parpol atau calon peserta pemilu dan pemilihan. (Hukuman Disiplin Berat);

9) Menjadi tim ahli/tim pemenangan/konsultan atau sebutan lainnya bagi bakal calon peserta pemilu atau peserta pemilihan sebelum penetapan peserta pemilu atau peserta pemilihan. (Hukuman Disiplin Sedang);

10) Menjadi tim ahli/tim pemenangan/konsultan atau sebutan lainnya bagi bakal calon peserta pemilu atau peserta pemilu setelah penetapan peserta pemilu atau peserta pemilihan. (Hukuman Disiplin Berat);

11) Memberikan dukungan kepada bakal calon perseorangan dengan memberi surat dukungan atau mengumpulkan fotocopy KTP atau Suket penduduk. (Hukuman Disiplin Berat);

12) Membuat keputusan / tindakan yang dapat menguntungkan/merugikan partai politik atau calon atau pasangan calon. (Hukuman Disiplin Berat).

Banyak Celah

Syaiful Jihad memaparkan banyak kekosongan dalam UU Pemilu yang dimanfaatkan kontestan untuk mencapai tujuannya.

Misalnya larangan bagi kepala desa dan perangkat desa terlibat dalam kampanye atau memfasilitasi kontestan pemilu di wilayahnya.

“Seperti kasus perangkat desa bersama calon presiden yang viral beberapa waktu lalu. Alasannya kegiatan dilakukan sebelum masa kampanye,” kata Ipul sapaannya.

Kegiatan Rapat Koordinasi Pengawasan Pemilu dengan Media Massa diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Barru.

Komisioner Bawaslu Kabupaten Barru, Mastang, menyebut kegiatan ini untuk menjalin sinergi dan kolaborasi dengan media untuk membantu pengawasan pemilu. Selain media, kegiatan juga diikuti Baznas Barru, panwascam dan perwakilan organisasi kepemudaan.(*)

Berita Terkini