Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi sebagai fondasi bernegara mulai membusuk.
Pilar-pilarnya mulai terinfeksi oleh virus- virus kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa dan negara.
Dalam opininya Satrio Wahini di Koran Tempo, menulis bahwa Jokowi dalam praktik kepresidenannya sudah kian melenceng dari rel demokrasi karena seakan-akan mendukung suburnya dinasti politik.
Belum lagi fakta yang memprihatinkan bahwa supremasi hukum ( rule of law), sebagai salah satu pilar demokrasi terpenting, justru makin lemah di era Jokowi.
Jokowi saat ini terlalu dahaga akan kekuasaan dan tidak lagi menghiraukan demokrasi.
Maka pantas saja jikalau salah satu media di Jerman menulis dalam salah satu judul beritanya tentang Indonesia, dengan judul: “ Abschied Vonder Demokratie (Selamat Tinggal Demokrasi).
Demokrasi Kian Memburuk
Dosen Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Dr. Caroline Paskarina, M.Si., ketika menjadi pembicara pada “Outlook Sosial Politik 2022” yang digelar Dewan Profesor Unpad, menyebutkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia sejak 2021 menurun dibandingkan 2019 berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia Badan Pusat Statistik.
Ada banyak riset yang menjabarkan penyebab penurunan demokrasi tersebut. Beberapa di antaranya laporan rutin The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan 2021 Democracy Report yang menunjukkan pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan.
Penurunan kualitas tersebut menunjukkan pergeseran pola demokrasi Indonesia, yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi yang cacat (flowed democracy).
“Ini berarti bahwa demokrasi elektoral melalui pemilu tidak menjadikan lahirnya pemimpin yang mampu sejahterakan rakyat,” ujarnya (Media Universitas Padjadjaran, 1/10-2022).
Peneliti CSIS Arya Fernandes menyebut kondisi demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sedang mengalami regresi atau kemunduran dukungan publik.
Temuan itu, menurut Arya berdasarkan hasil survei CSIS yang telah dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir atau sejak tahun 2018, yang menunjukan bahwa terjadi penurunan kepuasan publik terhadap iklim demokrasi di Indonesia.
Data ini juga mengkonfirmasi temuan riset yang sudah ada sebelumnya, bahwa memang saat ini terjadi demorcatic regration atau regresi demokrasi."
Arya menuturkan, pada penelitian sebelumnya, yang dilakukan pada 2018 hasil kepuasan publik terhadap demokrasi berhasil melesat keangka 68,5 persen.
Tapi empat tahun kemudian (2022) itu turun menjadi 63,8 % .
Jadi memang ini menemukan dan mengkonfirmasi bahwa terjadi penurunan dukungan publik pada demokrasi.
Menurut Arya, penyebab menurunnya kepuasan publik terhadap iklim demokrasi di Indonesia itu lantaran praktik-praktik kebijakan politik yang dijalankan tidak disukai oleh publik.
Juga merosotnya hak-hak dalam esensi praktik-praktik demokrasi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan saat ini.
Senada dengan hasil riset CSIS tersebut, direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut demokrasi di Indonesia memang mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir.
kualitas demokrasinya mengalami kemerosotan. Bahkan dalam 14 tahun terakhir memang kualitas demokrasi Indonesia, dianggap berada pada titik yang paling rendah," papar dia.
Dua puluh satu tahun setelah reformasi, peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, Australia, mengatakan demokrasi Indonesia berada pada titik terendahnya.
Salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kerapkali Jokowi menyuarakan komitmennya dalam menjaga demokrasi.
Namun pada kenyataannya, banyak kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan anti-demokrasi dihasilkan di bawah kepemimpinannya.
Dinasti dan Oligarki Kian Menjadi
Time edisi 27 Oktober 2023, Koh Ewe menulis; Ketika Joko Widodo dilantik sebagai Presiden ke tujuh Indonesia pada tahun 2014 optimisme seputar keadaan démokrasi di negara ini tampak mencapai puncaknya.
Namun seiring dengan berlalunya dekade pemerintahan Jokowi, ia mungkin akan lebih dikenang karena mengantarkan era baru kemunduran demokrasi.
Bahkan inisiatif puncaknya, yang dimaksudkan sebagai monumen besar warisannya—pembangunan ibu kota baru yang disebut Nusantara, untuk menggantikan ibu kota yang ada di Jakarta yang akan dimulai pada tahun depan—tampaknya merupakan perwujudan dari kemunduran tersebut.
Jokowi juga tanpa malu-malu mulai membentuk dinasti politiknya sendiri, dengan mengangkat anggota keluarganya ke posisi-posisi penting di pemerintahan selama beberapa tahun terakhir.
Putranya yang berusia 28 tahun, Kaesang Pangarep, diangkat menjadi ketua Partai Solidaritas Indonesia, meski tidak memiliki pengalaman politik.
Sedangkan Bobby Nasution, menantu Presiden, menjadi Wali Kota Medan pada tahun 2020—tahun yang sama dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menjadi Wali Kota Surakarta.
Mahkamah Konstitusi pun—yang kebetulan dipimpin oleh Anwar Usman, saudara ipar Presiden—secara kontroversial memberi peluang Gibran sebagai BACAPRES padahal sebelumnya, dari segi umur, peraturan tidak memungkinkannya. Dari tulisan Di Time itu, aroma Dinasti pun semakin terasa menusuk indera demokrasi kita.
Jika dinasti mulai merajalela di negeri yang menganut sistem demokrasi, maka beberapa efek negatif yang mungkin terjadi adalah:
Pertama, akan terjadi pelanggaran prinsip demokrasi, karena dinasti cenderung merusak prinsip rotasi kekuasaan dan partisipasi warga negara dalam berdemokrasi.
Kedua, kekuasaan dinasti akan mengkonsolidasikan kekuasaan dalam keluarga atau kelompok tertentu, dan mengorbankan pluralisme politik dan persaingan yang sehat dalam proses demokratis.
Ketiga, Korupsi dan nepotisme akan sulit terbendung, karena dinasti seringkali terkait dengan korupsi dan nepotisme, dengan anggota dinasti yang memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau keluarga.
Keempat, Ketidaksetaraan politik semakin menjadi- jadi, karena dinasti bisa menciptakan ketidaksetaraan politik, di mana keluarga-keluarga berkuasa memiliki akses yang lebih besar ke kekuasaan dan sumber daya dibandingkan warga negara biasa.
Kelima, akhirnya menyeruak ketidakpuasan masyarakat akibat penyalahgunaan kekuasaan dinasti. menyebabkan masyarakat hilang kepercayaan kepada institusi politik.
Karena itu, untuk menjaga integritas demokrasi, penting untuk memonitor dan mengatasi kemungkinan dinasti politik merajalela yang berkolaborasi dengan oligarki.
Oligarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dan pengaruh politik terkonsentrasi dalam sejumlah kecil individu atau kelompok kaya dan berpengaruh.
Karenanya harus dipastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti rotasi kekuasaan dan persaingan politik yang sehat dijaga dengan baik.
Fundamen penting yang dapat menjaga agar demokrasi bisa bertegak adalah penegakan hukum sebagaimana mestinya.
Hanya saja, dalam sepuluh tahun terakhir, pembentukan dan penegakan hukum telah dijadikan dalih untuk kepentingan kekuasaan oligarkis.
Itulah performance Autokratik Legalisme dalam pemerintahan negara.
Yaitu semacam upaya pemerintah yang tampil seolah mau memecahkan akar masalah tetapi sesungguhnya dengan cara melegalkan praktik otokratisme seperti yg diteorikan oleh Prof. Kim Scheplei yang akhirnya memunculkan the Dark Law (kegelapan hukum) sebagaimana di ungkap oleh Stephen Cody.
Jika hukum suatu negara mulai terkubur atau tidak ditegakkan dengan baik, maka beberapa dampak negatif yang mungkin akan terjadi adalah:
Pertama, Masyarakat akan mengalami ketidakpastian karena tidak dapat mengandalkan hukum dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Kedua, Korupsi akan merajalela, karena pejabat yang tersangkut korupsi, dapat menghindari pertanggungjawaban hukum.
Ketiga, akan merebak pelanggaran hak asasi manusia karena tanpa perlindungan hukum yang kuat, hak asasi manusia bisa dilanggar secara sistematis.
Keempat, Keadilan hukum yang tidak berfungsi dengan baik dapat menyebabkan ketidakadilan dalam sistem peradilan, sehingga sebagian masyarakat mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, ketika hukum mulai terkubur, penting untuk memperbaiki sistem peradilan dan memperkuat penegakan hukum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan keadilan yang bebas dari jeratan kepentingan oligarki dan dinasti, yang menyebabkan kaum oligarki dan dinasti semakin berkibar di tengah membusuknya demokrasi dan terkuburnya hukum yang berkeadilan. Wallahu a’lam bishshawabe.(*)