Opini

Tapak Tilas Gerakan Berkemajuan

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Kahar, Alumnus Program Pascasarjana Sejarah dan Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar

Oleh: Abdul Kahar

Alumnus Program Pascasarjana Sejarah dan Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar

MEMASUKI abad ke-20, berbagai kondisi semakin tak menentu. Eksistensi pemerintah kolonial Belanda semakin terancam, perlawanan dan desakan terjadi di hampir semua wilayah jajahan.

Perseteruan antara kaum muda dan kaum tua juga semakian menguat; di antara mereka ada yang bersikap konservatif terhadap penjajah, ada pula yang sebaliknya; bersikap progresif.

Sulawesi Selatan sebagai wilayah sentra dagang yang dihuni para bangsawan Bugis Makassar di awal-awal abad 20 mulai berinteraksi dengan berbagai gerakan berkemajuan, salah satunya adalah Muhammadiyah.

Gerakan Muhammadiyah bermula ketika seorang pedagang batik keturunan Arab asal Madura bernama Mansyur Al-Yamani tiba di Makassar.

Sebelum kepindahannya, ia pernah menetap dan aktif sebagai pengurus Muhammadiyah di Surabaya.

Setahun setelah Muhammadiyah berdiri di Makassar, 60 KM dari kota tersebut juga berdiri Muhammadiyah grup baru oleh seorang keturunan bangsawan Labakkang yang baru saja pulang dari Sumatera Barat bernama Andi Sewang Dg. Moentoe.

Moentoe adalah anak muda berusia 20-an tahun yang baru pulang dari tempat pengasingan ayahnya di Sumatera Barat.

Ayahnya adalah bangsawan yang berkuasa di Labakkang, kerajaan otonom yang pernah eksis sebelum kemerdekaan, diasingkan karena enggan mengikuti mengikuti verteklaring yang dibuat oleh penguasa sebelumnya, khususnya pada kebijakan pajak pemerintah yang menyengsarakan.

Selama menyusul ayahnya ke Sumatera Barat lalu menetap di sana, Moentoe muda banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam.

Di saat yang sama, Sumatera Barat pula menjadi lahan subur bagi pertumbuhan organisasi pergerakan Islam yang lahir dari embrio Tawalib milik Haji Rasul, ayah Hamka.

Mendirikan Group Moehammadijah Labakkang

Moentoe Muda tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan penuh kepedulian.

Kepulangannya ke kampung halaman di Labakkang memberikan berkah tersendiri bagi masyarakatnya.

Ia menyadari bahwa keterbelakangan bangsanya diakibatkan oleh politik penjajahan yang saat itu digencarkan oleh Belanda.

Keterbelakangan yang dialami oleh masyarakatnya sangat terlihat dari praktik bid’ah dan khurafat yang semakin marak dilakukan oleh masyarakat.

Pengalamanya di Sumatera Barat mengenalkan ajaran Islam yang benar; yang tentu bertentangan dengan berbagai praktek menyimpang tersebut.

Moentoe mulai mendiskusikan hal tersebut dengan tokoh-tokoh setempat, termasuk di antaranya dengan Sayyid Hamid, tokoh yang kelak akan mendampingi Moentoe dalam melancarkan berbagai gerakannya.

Diskusi tersebut berjalan hangat, hingga akhirnya diputuskan bahwa pergerakan yang akan dibuka sebagai wadah perjuangan di Labakkang adalah Muhammadiyah.

Kehadiran Muhammadiyah di Labakkang membawa angin segar bagi masyarakat lokal.

Muhammadiyah membawa gerakan pembaharuan Islam dan melakukan berbagai program untuk mencerdaskan generasi.

H.S.D. Moentoe sebagai ketua sekaligus inisiator berhasil menggait para bangsawan, Muhammadiyah mendapat dukungan dari bangsawan hingga akhirnya membangun masjid di Bontonompo sebagai pusat dakwah dan ibadah bagi kaum Muhammadiyah di Labakkang.

Mendirikan Madrasah Muhammadiyah Labakkang

Pendirian masjid Muhammadiyah di area Bontonompo dipandang belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Islam bagi bangsanya di Labakkang. H.S.D.

Moentoe menyadari bahwa tanah jajahan Belanda membutuhkan generasi berpendidikan; generasi yang siap berhadapan dengan berbagai kompleksitas perubahan kehidupan di masa mendatang.

Kesadaran tersebut membuat Moentoe berpikir untuk membuat madrasah yang lebih modern dalam mempersiapkan generasi yang lebih matang.

Muhammadiyah sebagai wadah yang baru berdiri menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat.

Ditambah lagi, gerakan ini diusung oleh pemuda bangsawan progresif dan anak raja yang amat dicintai oleh rakyatnya.

Moentoe termasuk satu-satunya anak bangsawan yang beruntung pernah mengenyam pendidikan dari ulama-ulama pembaharu di Sumatera Barat.

Hingga ketika ia menginisiasi berbagai program sosial; ia banyak mendapatkan banyak dukungan dari bangsawan lain.

Pendirian sekolah Muhammadiyah yang diinisiasi oleh Moentoe juga berjalan dengan baik.

Moentoe mendapatkan tanah wakaf untuk pendirian sekolah dari familinya yang bernama Andi Hilal Karaengta Ujung; di samping itu, sekolah ini juga banyak mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh yang ada di Labakkang, di antaranya Sayyed Hamid yang nanti juga banyak membantu masalah keuangan.

Sekolah yang dibangun oleh Moentoe ibarat angin segar bagi masyarakat terjajah di Labakkang.

Berkat sekolah tersebut, masyarakat yang terbelakang sedikit demi sedikit menjadi berkemajuan.

Apatah lagi, berkat kemajuan pendidikan, Moentoe selalu mendatangkan tokoh-tokoh dari luar untuk ikut mengajar, di antaranya Buya Hamka yang merupakan sahabatnya sendiri.

Sekolah yang didirikan oleh Moentoe melalui gerakan Muhammadiyah semakin hari semakin berkembang.

Selain terus menginisiasi gerakan pendidikan lokal seperti pengajaran agama melalui Muhammadiyah dan membuka pelajaran Al-Qur’an yang tersebar di beberapa titik dengan memanfaatkan kolom rumah keluarganya.

Moentoe juga berusaha mengirimkan anak-anak Labakkang keluar dari kampugnya untuk belajar ke tempat lain, seperti Makassar dan Yogyakarta.

Ikut Mendirikan Universitas Muslim Indonesia

Indonesia Timur di awal-awal kemerdekaan tidak memiliki universitas sebagai wadah pendidikan tinggi bagi para generasi.

Para bangsawan dan raja juga meresahkan kondisi tersebut karena akan berakibat pada ketertinggalan pendidikan, apalagi Makassar sebagai pusat Indonesia Timur sama sekali belum memiliki universitas Islam sedang penduduknya mayoritas muslim.

Ide pendirian universitas di awal tahun 50-an tersebut semakin bergulir.

Raja-raja dan bangsawan terpandang seperti Andi Mappanyukki (raja Bone), Andi Ijo (raja Gowa), Andi Djemma (raja Luwu) mulai dihubungi oleh masyarakat.

Hingga akhirnya, menindaklanjuti ide yang berkembang tersebut dibentuklah Wakaf Pembangunan Universitas Muslim Indonesia pada 18 Februari 1953 yang dipercayakan kepada Sutan Muhammad Yusuf sebagai ketua umum, H. Andi Sewang Dg. Muntu sebagai ketua I dan Naziruddin Rahmat sebagai ketua II.

Wakaf Pembangunan Universitas Muslin inilah yang nantinya berubah nama menjadi Yayasan Wakaf UMI.

Para pengurusnya termasuk Moentoe terus bekerja hingga mereka mendapatkan tanah wakaf, melakukan proses pembangunan, dan mengurus kelengkapan administrasi.

Hingga hari ini, universitas ini semakin eksis dan menjadi universitas Islam swasta di Indonesia bagian Timur.

Tentang Penulis

Abdul Kahar merupakan alumnus pada program pascasarjana jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Studinya fokus pada kajian peradaban dan pergerakan Islam lokal di Sulawesi Selatan. Saat ini, penulis sedang melakukan kajian tokoh dan mendalami H.S.D.

Moentoe sebagai salah satu tokoh sentral pergerakan Islam melalui Masyumi dan Moehammadijah Celebes Selatan tahun 1938-1957.

Berita Terkini