Menutup, mengakhiri begitu banyak obsesi besar yang telah mengagenda dalam penjajakan hidupnya.
Obsesi-obsesi itu, sedikit banyaknya saya tahu.
Tak lain -- seperti dia ungkap setahun lalu saat memberi testimoni pameran tunggal lukisan saya -- cara terus terang, mengakui jika saya satu seniornya, tempatnya mengadukan banyak obsesi, harapan-harapannya di masa datang.
***
Semalam saat melayat. Depan jenazahnya, terbayang di benak saya, masa 20-an tahun lalu, di awal perjumpaan kami.
Kala itu 2003, dia masih bujangan.
Usianya beranjak 24 tahun.
Selepas dari bangku kuliah di IAIN Ciputat, seniornya Saiful Mudjani, merekrutnya di LSI, lembaga survei politik pertama di Indonesia.
Herman yang kelahiran Makassar, diberi tugas selaku Koordinator LSI, wilayah Sulsel, Sulbar dan Sultra.
Beban tugas itu -- dia yang domisili Jakarta -- mesti banyak waktu berada di Makassar.
Di masa-masa awal menjajak Kota Makassar itulah, rumah saya dipilih sebagai tempatnya berkongkow.
Sesama alumni HMI, kami membincangkan beragam soal, juga mendiskusikan buku-buku terbitan terbaru.
Bahkan uniknya, banyak pesanan survey politik, Pilkada khususnya, jelang diserahkan ke pemesannya, rekomendasinya kami diskusikan dan rumuskan di rumah saya.
Walhasil, banyak perhelatan Pilkada di Sulsel, saya tahu petanya, jauh sebelum dan jelang pencoblosan.
***