Opini

Resonansi Bunyi dan Perubahan Sosial

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Irfan Yahya

Dengan memahami prinsip resonansi bunyi, para
aktivis sosial dapat memilih pesan dan pendekatan yang lebih efektif untuk mempengaruhi opini dan tindakan masyarakat secara signifikan.

Salah satu contoh yang dapat disebut dan relevan dalam konteks ini ini adalah lagu kebangsaan, mars atau himme yang memiliki lirik atau melodi yang menginspirasi dapat menggerakkan massa, membuncah ghirah perjuangan, dan dapat menjadi perekat dalam sebuah sistem sosial.

Berikutnya, konsep resonansi bunyi juga dapat diaplikasikan dalam gerakan sosial untuk kampanye isu lingkungan.

Bahwa suara-suara alam atau suara yang merepresentasikan masalah lingkungan seperti illegal logging atau memburu binatang yang terancam punah dapat memicu emosi dan kesadaran publik terhadap isu-isu tersebut.

Walaupun sejatinya konsep resonansi bunyi ini tidak serta merta menjadi menyebabkan perubahan sosial secara langsung. Terdapat juga faktor-faktor lain seperti pendidikan, strategi gerakan, pendalaman dan penguasaan masalah, adalah hal-hal yang juga penting sebagai faktor penggerak perubahan sosial yang signifikan.

Konsep resonansi bunyi hanyalah salah satu alat atau metode yang dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik dan memicu tindakan yang mengarah pada perubahan sosial.

Kini di era digital, dengan kecanggihan teknologinya menjadi faktor dominan dalam memainkan peran penting mengubah pola bagaimana konsep resonansi bunyi atau pesan bekerja dalam konteks perubahan sosial. Media sosial, platform streaming, youtube, tiktok, musik, dan teknologi lainnya memungkinkan pesan-pesan dan suara-suara untuk menyebar dengan cepat dan efektif, memungkinkan lebih banyak orang terlibat dan terinspirasi oleh konsep resonansi bunyi.

Bunyi atau pesan yang disampaikan itu tergantung dari basis nilai dan falsafah hidup yang diyakini oleh aktor atau entitas penggerak perubahan sosial tersebut.

Wahyu dan Resonansi Perubahan Sosial

Menurut Peter L Berger (1991) agama menempati suatu tempat tersendiri dalam usaha masyarakat manusia melakukan perubahan sosial dalam rangka membangun dunia.

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektik, proses dialektik dari masyarakat terdiri dari tiga momentum yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi yang kemudian menjadi prinsip dasar teori konstruksi sosial yang ia bangun.

Agama melegitimasi lembaga-lembaga sosial dengan memberikannya status ontologis yang absah, yaitu dengan meletakkan lembaga-lembaga tersebut di dalam kerangka acuan sakral dan kosmik.

Konstruksi-konstruksi historis aktivitas manusia itu dilihat dari suatu titik tinggi yang menurut defenisinya sendiri, mengatasi (transcend) sejarah maupun manusia (Peter L. Bergert. 1991, 41).

Dalam konteks kajian sosiologis, agama bukan hanya dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

Studi tentang perilaku keberagamaan manusia dalam dunia realitas seperti itulah yang kemudian dikenal dengan Sosiologi Agama.

Halaman
1234

Berita Terkini