"Sementara Sungai Daya yang terletak tak jauh dari Jalan Poros Provinsi dengan lebar 25 meter, menyempit di muara menjadi 1 meter," ucap anggota Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia (HATHI) ini.
Farouk menegaskan, masyarakat harus menjaga agar tidak membuang sampah di drainase.
Sebab dampak yang ditimbulkan adalah kapasitas saluran berkurang serta terjadi penumpukan pada penghalang tertentu yang menyebabkan saluran tersumbat.
Disisi lain, pemerintah harus mengontrol pemanfaatan ruang yang mengganggu sistem drainase yang ada.
Khusus Kota Makassar, sistem drainase yang ada terdiri dari System Drainase Primer berupa sungai dan kanal.
Sungai dan kanal merupakan kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR.
Baca juga: Unibos Kumpul Pakar PWK se-Indonesia, Prof Batara Surya Ingatkan Bahas Solusi Banjir Makassar
Baca juga: Curhat Emak-emak, Rugi Puluhan Juta Setiap Blok 8 Perumnas Antang Banjir
Sedangkan Drainase Sekunder atau Tersier menjadi kewenangan Kota Makassar.
"Oleh sebab itu, perlu ada koordinasi antar sektor agar koneksitas tetap terjaga. Pemprov Sulsel diharapkan menjadi koordinator untuk mengatasi perbedaan kewenangan tersebut," jelas Farouk.
Menurutnya, curah hujan adalah kondisi alam yang tidak bisa dicegah.
Masyarakat pun hanya dapat melakukan upaya pengendalian dalam rangka mengurangi dampak.
Perlu melakukan upaya mitigasi bencana sejak dini agar dapat mengurangi dampak genangan di kawasan perkotaan.
Sebab curah hujan tidak dapat dicegah, diantaranya dengan adanya Kolam Regulasi Nipa-nipa dan Bendungan Bili-bili serta Kolam Retensi untuk pemukiman perumahan dengan memanfaatkan fasum fasos," tutupnya.(*)