drg Rustan Ambo Asse SpPros
Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - Pada penghujung tahun 2000 di tengah hutan belantara Mamuju tempat Pesantren Husnayain Salulebbo berdiri, aroma ketakutan itu menghantui.
Batu-batu besar menimpa atap mesjid dan asrama, teror yang disinyalir berasal dari pasukan tibo merah itu berlangsung justru ketika para santri sedang melakukan ibadah sholat Isya.
Namun sebelumnya seharian sejak pagi hari para santri masuk hutan mencari rotan, mengumpulkan batu-batu kecil warna putih dari sungai Salulebbo dan dua loud speaker ( Toa) dipasang di pohon tertinggi yang berada tepat di depan mesjid agar selain untuk azan juga agar informasi dapat terdengar hingga di perkampungan dekat pesantren.
Semua itu adalah upaya mempersiapkan diri menghadapi teror yang lebih besar
Ketika teror itu kembali terjadi, sebagai pimpinan pesantren Galib Ma'sud berteriak dengan lantang melalu Toa. Dia memberikan orasi singkat perihal misi sucinya untuk pembinaan mental dan mencerdaskan anak-anak yang terbelakang di daerah itu juga sekaligus menantang para teroris itu untuk berhadapan langsung sebagai laki-laki.
Petikan kisah itu tertulis rapih dalam buku yang ditulis oleh Andi Damis Dadda yang berjudul "Berguru di Gontor Refleksi Biografi Galib Ma'sud SH mengabdi di Hutan Salulebbo".
Laki-laki pemberani itu sejatinya mewarisi sifat ayahnya H Mas'ud Ahmad yang konon merupakan teman seperjuangan sang legendaris Oesman Balo dan pimpinan Kelaskaran Bp Ganggawa Andi Cammi alias Hamidong.
Mereka para pejuang pembela Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kisah tentang Galib mengingatkan kita kepada pesan leluhur bugis untuk senantiasa hidup dalam kejujuran, kesederhanaan dan kebermanfaatan dimanapun kita berpijak.
Fase kehidupan masa kecil yang tumbuh di Rappang, memberikan tetesan heroik dari tempat dia lahir, kota perjuangan bambu runcing sebagai sisi kepahlawanan. Namun sisi itu diperkuat oleh kultur jiwa religius tempat lahirnya tokoh-tokoh ulama seperti Syek Ismail bin Thalib, KH Abdul Jabbar Assiri, H Abdurrahman Shihab ayahanda dari Prof H Qurais Shihab bersaudara dan masih banyak tokoh ulama lainya.
Pilihan orang tua Galib untuk mengirimnya ke Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur boleh jadi merupakan fase kehidupanya yang paling paradoks.
Galib kecil yang dikira nakal, anak muda bintang dari rappang dan memiliki cinta untuk gadis berkepang dua adalah titik awal sinyal kehidupan yang mengantarkanya ke Gontor.
Ibunya berharap, di Gontorlah Galib akan tumbuh menjadi pribadi yang unggul.
Namun Gontor yang disiplin, aktivitasnya diatur ketat oleh bunyi lonceng sakral bekas selongsong bom.
Bunyi lonceng yang memberikan tanda kapan belajar, kapan berkumpul , kapan istirahat dan lain-lain.
Lonceng ini begitu membekas dalam jiwa santri gontor hingga pada akhirnya dipahami bahwa dibalik simbol itu telah ribuan santri lahir dengan karakter yang kuat, menguasai bahasa arab dan inggris, hingga akan tumbuh menjadi pribadi yang bermanfaat untuk ummat.
Walaupun demikian, kisah Galib tak berhenti menyisakan sisi- sisi unik, jalan hidupnya serupa jalan yang tak biasa.
Ketika dirinya menyadari pilihan ibunya mengirimnya ke Gontor adalah jalan yang lapang dan indah, justru pada suatu titik pada fase selanjutnya dia mengundurkan diri dari Gontor karena perbedaan prinsip dengan beberapa seniornya.
Meski seperti itu, Galib yang pernah berguru di Gontor itu tidak serta merta melupakan dan abai akan hikmah pendidilkan yang didapatnya.
Dia tetap melangkah dengan jiwa-jiwa sebagai mantan santri yang progresif.
Hal yang paling menonjol adalah jiwa organisasi yang begitu kuat, semasa SMA dia aktif di OSIS dan Pramuka.
Pada periode kemahasiswaan, sebagai mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin dia dikenal banyak kalangan sebagai aktivis mahasiswa angkatan 80-an.
Irisanya dengan organisasi kemahasiswaan dan pemuda cukup banyak, selain sebagai aktivis dan ketua PTKP HMI Cabang Makassar bahkan hingga dua periode, juga dikenal sebagai sang raja inisiator berbagai macam organisasi kepemudaan.
Nampak kelihatan dengan jelas bahwa Galib yang pernah berguru di Gontor dan menikmati fase kemahasiswaan pada era 80-an yang tentu penuh dengan peristiwa heroik dan romantika kemahasiswaan yang penuh suka dan duka perjuangan itu pada akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan idealis.
Ada satu hal yang paling memantik nurani dalam kisah Galib. Bahwa ketika menjalani kehidupan, dia tetap sederhana. Keluarga kecilnya dia bangun dengan cinta dan contoh yang baik.
Sebagai seorang mantan aktivis dengan banyak jejaring dan kawan-kawan seantero nusantara dia bisa saja memanfaatkan itu untuk memperoleh posisi atau jabatan menteren di negeri ini.
Namun hal itu tidak dia lakukan, bahkan pada fase kehidupan yang paling tragis yang dia alami. Ketika dia menderita penyakit lever akut dan memaksanya untuk berpisah dengan keluarga kecilnya selama 6 bulan.
Dia justru bernazar, bahwa kelak jika Allah SWT memberikan kesempatan hidup dengan kesehatan yang membaik, maka dia berjanji akan mencurahkan sisa hidupnya untuk ummat,mbangsa dan negara. Dia ingin mendirikan pesantren.
Ketika saya mendapat kiriman bukunya, dan buku itu saya baca dalam rentang kurang lebih 24 jam.
Dia memberikan pesan via Whatshaap bahwa buku ini adalah inisiasi dari sahabatnya yang juga teman seperjuangan Andi Damis Dadda, buku ini lahir bukan karena kehendak dirinya.
Perjalanan kisah selanjutnya bagaimana dia menunaikan nazar untuk mendirikan Pesantren adalah kisah yang penuh hikmah dan pelajaran hidup.
Perjalanan anak manusia yang penuh idealisme dan tekad yang kuat untuk lebih bermanfaat bagi generasi pelanjut.
Seorang Galib yang mundur dari Gontor, bisa jadi adalah salah satu murid terbaiknya.
Boleh jadi mendirikan pesantren itu adalah sebuah jawaban yang belum terungkap ketika dia pada akhirnya meninggalkan asrama.
Galib tetap memilih jalan paling sederhana dalam hidupnya.
Jalan yang mungkin telah lama tidak ditemukan pada era sekarang ini.
Namun jalan yang telah dia buka adalah pesan abadi yang memantik cahaya nurani kita semua. Bahwa selalu ada harapan yang akan tumbuh mekar dan indah di negeri ini. Semoga ! (*)