Ibunya berharap, di Gontorlah Galib akan tumbuh menjadi pribadi yang unggul.
Namun Gontor yang disiplin, aktivitasnya diatur ketat oleh bunyi lonceng sakral bekas selongsong bom.
Bunyi lonceng yang memberikan tanda kapan belajar, kapan berkumpul , kapan istirahat dan lain-lain.
Lonceng ini begitu membekas dalam jiwa santri gontor hingga pada akhirnya dipahami bahwa dibalik simbol itu telah ribuan santri lahir dengan karakter yang kuat, menguasai bahasa arab dan inggris, hingga akan tumbuh menjadi pribadi yang bermanfaat untuk ummat.
Walaupun demikian, kisah Galib tak berhenti menyisakan sisi- sisi unik, jalan hidupnya serupa jalan yang tak biasa.
Ketika dirinya menyadari pilihan ibunya mengirimnya ke Gontor adalah jalan yang lapang dan indah, justru pada suatu titik pada fase selanjutnya dia mengundurkan diri dari Gontor karena perbedaan prinsip dengan beberapa seniornya.
Meski seperti itu, Galib yang pernah berguru di Gontor itu tidak serta merta melupakan dan abai akan hikmah pendidilkan yang didapatnya.
Dia tetap melangkah dengan jiwa-jiwa sebagai mantan santri yang progresif.
Hal yang paling menonjol adalah jiwa organisasi yang begitu kuat, semasa SMA dia aktif di OSIS dan Pramuka.
Pada periode kemahasiswaan, sebagai mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin dia dikenal banyak kalangan sebagai aktivis mahasiswa angkatan 80-an.
Irisanya dengan organisasi kemahasiswaan dan pemuda cukup banyak, selain sebagai aktivis dan ketua PTKP HMI Cabang Makassar bahkan hingga dua periode, juga dikenal sebagai sang raja inisiator berbagai macam organisasi kepemudaan.
Nampak kelihatan dengan jelas bahwa Galib yang pernah berguru di Gontor dan menikmati fase kemahasiswaan pada era 80-an yang tentu penuh dengan peristiwa heroik dan romantika kemahasiswaan yang penuh suka dan duka perjuangan itu pada akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan idealis.
Ada satu hal yang paling memantik nurani dalam kisah Galib. Bahwa ketika menjalani kehidupan, dia tetap sederhana. Keluarga kecilnya dia bangun dengan cinta dan contoh yang baik.
Sebagai seorang mantan aktivis dengan banyak jejaring dan kawan-kawan seantero nusantara dia bisa saja memanfaatkan itu untuk memperoleh posisi atau jabatan menteren di negeri ini.
Namun hal itu tidak dia lakukan, bahkan pada fase kehidupan yang paling tragis yang dia alami. Ketika dia menderita penyakit lever akut dan memaksanya untuk berpisah dengan keluarga kecilnya selama 6 bulan.