Oleh Harfika
Mahasiswi Akuntansi Syariah IAIN Parepare
Pagi itu, air tumpah ruah dari langit membasahi segala yang dikenanya. Tetes-tetes air dan dinginya tembok menjadi saksi pergulatan pikiran saya.
Ini bukan tulisan romantis bertema percintaan sepasang kekasih, melainkan sebuah ulasan dari rekaman ingatan saya, sebagai seorang perempuan yang jiwa kemanusiaannya terasa turut tersinggung.
Kecemasan itu lahir tatkala saya teringat suatu peristiwa, seorang anak melemparkan kata-kata kasar pada orang tuanya karena merasa terganggu saat ia memainkan smartphone.
Pada suatu kesempatan yang lain, saya juga pernah mendengar cerita dari salah seorang tetangga yang mengatakan bahwa ada seorang suami menelantarkan anak dan istrinya karena hanya sibuk bermain judi online.
Apakah ponsel dan internet yang menjadi pemicu tindakan-tindakan itu?
Menurut Stock Apps pengguna smartphone di dunia mencapai 5,3 miliar pada Juli tahun 2021.
Jumlah tersebut mencapai hampir keseluruhan populasi penduduk di dunia sekitar 7,9 miliar dengan persentase 76 persen.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa negara Indonesia saat ini menempati posisi ke-6 paling banyak mengakses internet di dunia dengan peningkatan mencapai 53,7 persen (data tahun 2020).
Sebanyak 170 juta aktif di media sosial. Ini berarti setengah dari penduduk Indonesia yang keseluruhannya mencapai 271,35 juta jiwa per Desember 2020.
Sayangnya, pemanfaatan internet tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat.
Beberapa dampak positif antara lain, memudahkan masyarakat dalam mendapatkan informasi, terjalinnya komunikasi tanpa kendala jarak, memudahkan promosi/iklan ketika menjalankan usaha/bisnis, dapat melakukan pembelajaran secara daring, dan sebagainya.
Sebagai salah satu contoh, hari ini bisnis online shop (olshop) sedang digemari oleh banyak mahasiswa sebagai alternatif untuk mendapatkan penghasilan.
Tidak hanya itu, adanya internet juga mengefisienkan pekerjaan baik dari rumah ataupun dari kantor, misalnya saat masa pandemi Covid-19.
Sedangkan dampak buruk bagi penggunaan internet ialah maraknya penipuan, penyebaran berita hoaks, sebaran konten pornografi yang mudah diakses siapa saja, dan kecenderungan orang mengabaikan hal-hal di sekitarnya atau anti sosial.
Fenomena hari ini, kita sering mendapati anak dan remaja menjadi korban kecanduan dari games online ataupun judi online.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebanyak 31,4 % remaja mengalami kecanduan internet atau biasa dikenal dengan istilah “internet addiction”.
Pengguna dikatakan sakau media sosial apabila mereka mengakses internet rata-rata 10 jam/ hari.
Kecanduan internet dapat mempengaruhi pola pikir serta mengubah cara bersosialisasi sampai pada pembentukan kepribadian.
Dampak lainnya ialah membuat kita terjebak dalam ruang alienasi. Posisi ini menempatkan kita seperti kehilangan diri.
Pertemuan tatap muka menjadi suatu hal yang kikuk, sehingga percakapan-percakapan intim sulit dibangun. Tinjauan penelitian mutakhir menunjukkan bahwa media sosial meningkatkan kadar depresi.
Hal ini dipicu bilamana pengguna melakukan perbandingan sosial yang tidak realistis.
Dr. Enrico A. Rinaldi, Praktisi SDM Rumah Sakit dan Pemerhati Hukum Kesehatan, dalam tulisannya berjudul: Aktivitas Online dan Dampak Perilaku Anti Sosial.
Menganjurkan para pengguna media sosial agar mampu mengendalikan emosi dan meningkatkan kesadaran akan keberadaan orang lain di sekitar untuk menghindari candu internet dan perilaku anti sosial.
Hadirnya internet hari ini menjadi kemudahan dalam dunia digitalisasi, menyuguhkan apa saja yang kita inginkan. Namun, perilaku kecanduan kerap kali tidak disadari oleh pengguna smartphone.
Seperti dari pembahasan di atas, untuk keluar dari lingkaran tersebut perlahan mulailah mengontrol diri dan membatasi waktu dalam penggunaan internet.
Dan baiknya saat mengakses internet diisi dengan kegiatan-kegiatan yang produktif seperti menggali potensi dan daya kreativitas.