Oleh: Muliaty Mastura Yusuf
Alumni IAIN/UIN Alauddin, Wakil Sekretaris MW KAHMI Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM- Universitas Islam Negeri Alauddin atau popular disebut dengan singkatan UINAM, lahir pada 10 November 1965.
Dulu bernama Institut Agama Islam Negeri Al-Jamiah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah.
Kini, sudah menjadi ikon “Kampus Peradaban” perguruan tinggi Islam di Makassar, bahkan meliputi kawasan timur Indonesia.
Sebagai ikon kampus peradaban, sejatinya mencitrakan diri sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya dapat melahirkan sarjana, magister, dan doktor cerdas berdasarkan ilmu yang diperoleh semata, tapi lebih urgen adalah bagaimana UIN memvisualisasikan dirinya menjadi panutan budi pekerti, sopan santun dan memegang nilai-nilai budaya dengan tidak mengenyampingkan nilai-nilai agama.
Sebab, bukankah bangsa beradab adalah bangsa yang memegang budi bahasa, adab, dan kebudayaannya?
Berbicara tentang peradaban, juga membincang tentang kemajuan.
Apa yang telah dicapai dari nama IAIN menjadi UIN, adalah suatu yang fantastis. Sebanyak 11 orang menakhodai Alauddin.
Dari tangan Haji Aroepala sebagai kuasa rektor tahun 1965-1968, Drs H Muhyiddin Zain; Prof H Abdurrahman Syihab, Drs H A Moerad Oesman, Dra Hj Andi Rasdiyanah, Drs H M Shaleh Putuhena, Prof Dr H Abd Muin Salim, Prof Dr H Azhar Arsyad, Prof Dr H Qadir Gassing, Prof Dr H Musafir Pababari dan kini berada di pundak Prof Drs Hamdan Juhannis MA PhD.
Dari kurang tertarik masuk IAIN ketika itu, kini jumlah pendaftarnya malah tumpah ruah.
Jumlah mahasiswa yang mendaftar membeludak sepanjang tahun.
Kapasitas mahasiswa sudah tidak sebanding dengan ketersediaan ruangan kuliah.
Daya pikat kuliah di UIN semakian menggeliat.
Prestasi dari mahasiswanya tak kalah hebat untuk unjuk skill, bukan hanya di ajang nasional, tetapi juga level internasional.
Jumlah magister, doktor, dan profesor, menunjukkan grafik yang sangat baik setiap tahun
Kampus peradaban yang menjadi dambaan bersama –bukan saja menjadi asa civitas akademika yang sehari-hari bergelut di kampus Samata--, tetapi juga para alumninya yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke bahkan di luar negeri.
Di level nasional, tak sedikit alumninya duduk pada jabatan penting dan strategis, bahkan beberapa di antaranya menjadi menteri atau wakil menteri.
Kampus peradaban dibangun dengan nilai-nilai akhlak tinggi.
Kita memiliki senses of responsibility yang kuat, komitmen terintegrasi antara cita-cita, harapan, dan fakta di lapangan.
Keikhlasan dan kolaborasi semua pihak dalam membangun UINAM sejatinya dapat dirasakan semua elemen masyarakat kampus dan para alumninya.
Itu sebab, tak pantas jika potensi SDM yang besar itu hanya jadi penonton karena tidak terlibat atau dilibatkan.