Jabatan tentu terbatas, sehingga mesti memanfaatkan berbagai warna serta latar belakang SDM yang ada agar roda organisasi bisa berputar maksimal.
Gagasan Identitas Lokal
Profesor Mustari Mustafa dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat UINAM, 2 Juli lalu, seakan mengiterupsi civitas akademika UINAM.
Dia menyerukan pentingnya kembali menengok ketokohan Sultan Alauddin yang disematkan pada Universitas Islam Negeri terbesar di Sulsel itu.
Menurutnya, Raja ke-14 Gowa itu, punya setidaknya lima sikap ilmiah yang harus menjadi nilai-nilai dasar proses belajar mengajar di UINAM.
Sultan Alauddin menjadi raja pertama yang memeluk Islam dengan nama I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang berkuasa dari tahun 1593 hingga 15 Juni 1639 itu, punya sikap rasional, reseptif, adaptif dan dialogis, dan kesadaran kritis.
Dari sini tampak kalau bukan hanya acara pengukuhan spektakuler sepanjang IAIN/UIN Alauddin, karena berhasil menghadirkan banyak tokoh nasional dan lokal, tetapi juga gagasannya untuk mengaktualisasikan kembali kearifan lokal dalam mengembangkan UINAM ke depan.
Semangat local genius itu diharapkan pula dapat memantik prestasi UINAM yang dalam beberapa tahun terakhir, menurut versi Webometrics Ranking Web of Universities, tak lagi di-reken secara nasional sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) papan atas. Laporan webometrics Juli 2021 misalnya, tidak menempatkan UINAM dalam sepuluh besar peringkat PTKIN, bahkan kalah dari IAIN Kendari yang sebelumnya menjadi bagian dari IAIN Alauddin sebelum berdiri sendiri.
IAIN Kendari menempati posisi ke-5 PTKN terbaik se-Indonesia dan posisi ke-72 dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ini pukulan telak, tapi apakah UINAM merasakannya? Entahlah.
Nilai-nilai pemikiran Sultan Alauddin tersebut –seperti tertuang dalam pidato pengukuhannya berjudul Identitas Lokal dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi, merupakan kebutuhan yang amat relevan dengan pengembangan dan kemajuan UINAM saat ini.
Mustari menegaskan arti penting dari sikap Sultan Alauddin untuk menjadi bekal dan dapat digunakan manakala merasakan haus terhadap solusi di tengah kesempitan melanda.
Visi kampus peradaban yang selama ini dibangun untuk masyarakat, sejatinya berkarakter pada nilai-nilai keadaban perjuangan tokoh lokal yang telah menjadi identitas UINAM itu.
Maka nilai sejarah sekaligus spiritualitas Sultan Alauddin dapat diejawantahkan dengan spirit, keuletan, kebersamaan, kesabaran, kecintaan, dan kesungguhan yang penuh tangggung jawab.
Sultan Alauddin sejatinya menjadi ramuan bagi pengembangan dan kemajuan UINAM, tidak hanya sebagai lips service, atau menjadikan namanya sekadar pemanis, tetapi banyak civitas akademika UINAM bahkan tidak mengenalnya. Pemihakan secara serius identitas lokal, menjadi indikator mendesak sekaligus strategis bagi pengembangan UINAM ke depan agar makin eksis, berdedikasi, berprestasi, dan berpengaruh tidak hanya secara nasional tapi juga di dunia internasional.
Apresiasi kepada tokoh Sultan Alauddin, tentu menjadi inspirasi kepada kita untuk mewujudkannya dalam bentuk kurikulum Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).
Hal ini sebagai manifestasi bahwa kita benar-benar berusaha menegaskan, meneguhkan, menguatkan, serta menggali nilai-nilai pemikiran Sultan Alauddin.
Selain itu, embrio dari wujud kampus peradaban adalah membangun new paradigm, new vision, moderasi sistem yang lebih profesional, menjadikan otokritik sebagai bahan introspeksi, berbenah, dan berubah menuju kampus peradaban.
UINAM akan terus maju jika kita kerja bersama, bersama-sama.(*)