Di Indonesia sendiri, mosi tidak percaya sudah beberapa kali digunakan.
Seperti saat masa demokrasi liberal tahun 1951. Saat itu, Perdana Menteri Natsir dijatuhi mosi tanda tidak percaya oleh beberapa kalangan.
Dua tahun selanjutnya, giliran kabinet Wilopo yang mendapatkan mosi serupa.
Istilah mosi tidak percaya pada dasarnya tidak akan cukup jika diartikan secara harfiah.
Namun, jika merujuk pada KBBI, kata 'mosi' diartikan sebagai keputusan rapat, misalnya parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat.
Mosi tidak percaya sendiri masuk ke dalam istilah konflik politik bersama dengan pemakzulan, pemecatan, penghentian, kudeta, dan subversi.
Dengan kata lain, pihak yang dijatuhi mosi tidak percaya pada dasarnya diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Melihat pengertian mosi tidak percaya ini, dapat dikatakan bahwa istilah ini berkaitan dengan DPR, kebijakan pemerintah, penghentian, dan tentunya ketidakpercayaan.
Jika dihubungkan dengan praktik ketatanegaraan Indonesia, mosi itu sendiri berkaitan dengan hak-hak dari DPR.
Kemudian, berbicara tentang hak-hak DPR, pembahasan akan merujuk pada UUD 1945 Pasal 20A Ayat 2.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa DPR mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
Dari ketiga hak DPR tersebut, mosi tidak percaya acap kali dihubungkan dengan hak DPR dalam menyatakan pendapat.
Hak ini merupakan hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah.
Selain itu menjadi tindak lanjut atas hak interpelasi dan hak angket, maupun dugaan DPR terhadap pemerintah.
Dari uraian ini, dapat dikatakan bahwa mosi tidak percaya merupakan hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas ketidakpercayaan kepada pemerintah. (*)
Laporan Kontributor : TribunToraja.Com,@b_u_u_r_y