TRIBUN-TIMUR.COM - Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode 2015-2017, Laksamana Muda (Purn) Leonardi.
Amar putusan dibacakan kemarin, Selasa (19/8/2025), hakim tunggal Abdul Affandi, menyatakan PN Jakarta Selatan tidak berwenang secara absolut memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan.
"Menyatakan praperadilan pemohon tidak dapat diterima," kata dia di Ruang Sidang 6 PN Jakarta Selatan.
Hakim juga memutus membebankan untuk membayar biaya perkara sejumlah, nihil kepada Leonardi.
Sementara, tim kuasa hukum Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, Rinto Maha menegaskan, penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus pengadaan satelit slot orbit 123° BT tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Mereka menyebut, fakta persidangan dan keterangan ahli membuktikan tidak ada kerugian negara, tidak ada niat jahat, dan tidak ada unsur tindak pidana korupsi.
Kuasa hukum merujuk pada UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, hingga Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.
Semua aturan itu menegaskan kerugian negara harus nyata, aktual, terukur, dan terbukti.
"Negara belum membayar sepeser pun kepada penyedia (PT Navayo). Tidak ada kas atau aset negara yang berkurang, artinya tidak ada kerugian negara," tegas Rinto Maha sebagai kuasa hukum seperti rilis diterima, Rabu (20/8/2025).
Tim kuasa hukum menekankan, justru PT Navayo yang dirugikan karena tagihannya tidak diakui pemerintah.
"Logika hukum terbalik kalau negara tidak kehilangan apa-apa, tapi pejabat tetap dituduh merugikan negara," ujarnya.
Menurut mereka, Leonardi tidak menerima keuntungan pribadi maupun aliran dana dari proyek tersebut.
Semua tindakannya bersifat administratif, bukan tindak pidana.
"Kesalahan administratif tidak bisa dipidana, itu ranah hukum administrasi, bukan korupsi," tegasnya.
Leonardi menandatangani kontrak atas dasar perintah Menteri Pertahanan sekaligus persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran.