Belum habis kabar-kabar tentang Covid dan vaksinnya yang serba wajib itu, minyak goreng malah lenyap, dan solar ikut-ikut langka.
Tabung gas tak mau kalah, harganya menanjak pula.
Rakyat seolah tercekik ditengah keadaan terjepit. Mereka faham, bahwa semua itu terjadi bukan karena takdir, melainkan kesengajaan ekonomi-politik yang digerakkan tanpa perasaan.
Disaat begitu, yang menjamur cepat adalah ulama. Populasinya terus menanjak.
Catatlah misal disini; kehadiran Sandiaga Uno--menteri Pariwisata dan Airlangga Hartarto--ketua umum Partai Golkar sekaligus menteri Kordinator Perekonomian beberapa pekan lalu.
Kedua menteri--politisi ini datang mengumpulkan ulama-ulama. Mendadak banyak pihak yang muncul sebagai "ulama".
Mereka berkumpul dihotel megah bersama kedua politisi itu; entah itu ulama lama, entah itu ulama baru.
Dan tentu saja, kita tak berani menyimpulkan bila pertemuan itu adalah forum suci.
Itulah sebabnya, politik harus diakui berperan dalam meningkatkan populasi ulama di negeri ini.
Dulu, ulama lahir dari bangku kusam pesantren-pesantren. Pesantren sebagai pabrik ulama.
Namun kini, keulamaan lahir dari keperluan ekonomi-politik oknum yang tak pernah cukup.
Maka dimana ada politisi, disitu tersertakan ulama. Entah itu ulama kitab kuning, entah itu ulama yang tak pandai mendaras kitab kuning.
Mungkin fenomena menjamurnya ulama ditengah politik yang runyam ini tak cukup dinilai sebagai populisme kanan yang tak luntur-luntur itu.
Atau dianggap sebagai bentuk kegagalan MUI mencetak ulama. Mungkin itu tak cukup.
Sebab diranah lain, keulamaan terbit dari resistensi warga pada politik yang runyam tanpa faedah positif bagi umat.