Syamsul Arif Galib
Prodi Studi Agama Agama UIN Alauddin Makassar / Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy
Tahun 2010 lalu, Terry Jones, seorang Pastor di Amerika Serikat mengumumkan rencananya untuk membakar Al-Qur’an.
Rencana itu mendapatkan reaksi besar di belahan dunia terutama di dunia Muslim.
Terry Jones akhirnya ditahan di Amerika, mendapatkan ancaman mati dari Al Qaeda, dan juga divonis mati di beberapa negara Muslim.
Saat Jyllands-Posten, sebuah surat Kabar di Denmark dan Charlie Hebdo, sebuah surat kabar di Prancis menerbitkan kartun tentang Nabi Muhammad, reaksi besar kembali muncul terutama bagi kalangan Muslim.
Tahun 2015, kantor Charlie Hebdo di Paris bahkan mendapatkan serangan mematikan yang mengakibatnya beberapa pekerjanya meninggal dunia.
Bagi sebahagian orang, apa yang dilakukan baik oleh Terry Jones, Jyllands-Posten ataupun Charlie Hebdo adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
Namun, alasan itu saja tidak akan cukup untuk membenarkan apa yang mereka lakukan.
Sama dengan tidak benarnya membolehkan penggunaan kekerasaan berhujung penghilangan nyawa seseorang sebagai reaksi atas apa yang dilakukan di atas.
Apa yang dilakukan ketiganya, meskipun dengan dalih kekebebasan berkepresi, namun menghadirkan luka bagi banyak orang terutama masyarakat Muslim.
Hal itu dikarenakan Muhammad dan Al Quran adalah dua hal yang mendapatkan posisi spesial bagi umat Islam.
Bagi masyarakat Muslim, dua hal itu masing-masing memiliki nilai kesucian.
Posisinya berbeda dengan hal yang lain yang mungkin akan terlihat serupa. Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan Muhammad sebagai utusan Tuhan.
Adanya hal yang dianggap suci dan memiliki nilai kesucian itulah yang membedakan agama dengan kepercayaan lainnya.