Karena itu, argumen GYS bahwa pentingnya memasukkan politisi dalam PB NU agar tercipta iklim saling mengawasi—rasanya bagai menanti hujan dimusim kemarau.
Argumen itu juga seolah mengisolasi jama’ah NU senidiri. Sebab ummat NU lah yang sepantasnya mengawasi rumahnya sendiri.
Seharusnya “iklim pengawasan” itu diciptakan melalui mekanisme institusi, bukan melalui personifikasi.
Disini demokratisasi terkesan tak hadir, karena kontrol institusi bukan dari bawah, tetapi dari atas untuk sesama yang diatas.
Tetapi tak boleh kita lesu darah dengan itu semua. Optimisme tetap penting dipatrikan.
Semoga NU ditangan GYS fokus melayani ummat, bukan melayani ambisi politik praktis dengan segala tuntutannya yang tak terlihat.