Oleh; Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora
Muktamar NU ke 34 akhir tahun lalu di Lampung sungguh sebuah teladan.
Kemunculan Gus Yahya Staquf (GYS) sebagai calon ketua Tanfidziyah mencuri perhatian Nahdliyyin se nusantara. Pertama-tama ia hadir dengan kampanye “menghidupkan pemikiran Gus Dur”.
Orang-orang lantas terkesima, takjub dan optimis. Bahkan, bukan hanya kaum Nahdliyyin yang gembira, kaum minoritas dan kalangan nonmuslim pun tergoda dengan kalimat itu (menghidupkan pemikiran Gus Dur).
Barangkali orang-orang mengangankan Gus Dur hadir kembali—sosok yang berkepala dingin ditengah keragaman itu. Disini, GYS diimajinasikan sebagai reinkarnasi Gus Dur diabad Android.
Apalagi, keputusannya untuk maju sebagai salah satu calon ketua Tanfidz PB NU didukung dengan seksama keluarga utama mendiang Gus Dur.
Tak cukup disitu. Ummat NU semakin jatuh hati pada GYS lantaran gagasan atau visi yang dibunyikannya beberapa hari sebelum Muktamar digelar sungguh menggetarkan hati.
Pada 19 Desember 2021, putra KH. Cholil Bisri itu berkata tak ada Capres dan Cawapres dari PB NU pada Pemilu 2024 nanti.
“Saya tidak mau ada calon presiden dan wakil presiden dari PBNU," katanya dikutip berbagai media.
Pernyataan itu seolah mengembalikan memory ummat NU pada masa lalu, bagaimana NU benar-benar dileraikan dari kerja-kerja politik praktis melalui seruan “kembali ke Khittah 1926”.
Dan itu berarti NU harus kembali rel perjuangannya sebagaimana cita-cita awal ia didirikan; pendidikan, dakwah, dan kerja sosial kemasyarakatan kebangsaan.
Kita tahu, seruan kembali ke Khittah menyerupai signal Handphone, timbul-tenggelam. Seruan itu bergema perdana pada tahun 1952 (dimotori KH. Ahmad Siddiq), lantas lenyap.
Bergema lagi pada tahun 1971, 1979, lalu lenyap lagi. Pada 1983 seruan kembali Khittah berbunyi lagi yang dimotori oleh Gus Dur dan Gus Mus (paman GYS).
Dijaman itu, Gus Dur hadir dengan gagasan kembali ke khittah 1926, untuk menyiasati rezim otoriter. Dan terbukti, tiga periode memimpin NU, Gus Dur benar-benar mengembalikan NU ke Khittahnya.
GYS seolah menggemakan ‘kembali ke Khittah’ itu dalam momentum Muktamar ke 34 tahun 2021 di Lampung.
Kakak kandung Menteri Agama itupun terpilih sebagai ketua Tanfidziyah PB NU masa khidmat 2021-2026.
Ummat NU pun lega. Pasti lega, sebab pernyataan GYS bahwa PB NU tak bercapres-cawapres pada pemilu 2024 nanti adalah kenyataan yang banyak dinanti.
Pernyataan itu semakna dengan kembali ke Khittah 1926, atau hendak membersihkan NU dari virus-virus politik praktis seraya berfungsi kaffah untuk bangsa.
Sayangnya, kelegaan itu tak bertahan lama, tak sampai sebulan lamanya.
Pada penyiaran struktur “kabinet” PB NU yang dipimpin GYS tanggal 12 Januari lalu, kelegaan itu sirnah seketika lantaran sejumlah pegiat/kader parpol nongol dalam kabinet PB NU.
GYS berkata, dimasukkanya para politisi tersebut sebagai para pengawas aktivitas NU ke depan.
Maksudnya, bila dimasa datang ada pengurus PB NU diam-diam mempolitisasi NU maka mudah terungkap sebab pasti diketahui oleh pengurus lainnya yang berlatar belakang parpol pula.
Iklim “saling mengawasi” ini hendak dibangun untuk menjaga marwah NU.
Sebab katanya, peniadaan politisi dalam dewan kepengurusan akan berimbas pada kian mudahnya NU dipolitisir. Disinilah inkonsistensi bermula terasa.
Dan disitulah letak masalahnya. Barangkali GYS lupa bahwa watak politik kita hingga hari ini begitu jauh dari nilai-nilai moralitas yang baik.
Contoh kecil umpamanya, “kejujuran”. Kejujuran tak pernah mengalasi gerak politik kita.
Sebaliknya, kebohongan malah senantiasa tersertakan. Politik kita hingga hari ini tak segan-segan memproduksi kebohongan.
Bukan hanya pada ummat, bahkan pada Tuhan pun politik begitu berani berdusta.
Dan di republik ini, kebohongan politik malah seringkali dikonsolidasikan dan dianggap sebagai kelaziman.
Karena itu, argumen GYS bahwa pentingnya memasukkan politisi dalam PB NU agar tercipta iklim saling mengawasi—rasanya bagai menanti hujan dimusim kemarau.
Argumen itu juga seolah mengisolasi jama’ah NU senidiri. Sebab ummat NU lah yang sepantasnya mengawasi rumahnya sendiri.
Seharusnya “iklim pengawasan” itu diciptakan melalui mekanisme institusi, bukan melalui personifikasi.
Disini demokratisasi terkesan tak hadir, karena kontrol institusi bukan dari bawah, tetapi dari atas untuk sesama yang diatas.
Tetapi tak boleh kita lesu darah dengan itu semua. Optimisme tetap penting dipatrikan.
Semoga NU ditangan GYS fokus melayani ummat, bukan melayani ambisi politik praktis dengan segala tuntutannya yang tak terlihat.