Kisah Pahlawan

Kisah Wolter Mongisidi, Ditangkap di SMP Nasional Makassar dan Dikhianati Kawan Sendiri

Editor: Muh. Irham
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Robert Wolter Mongisidi

Status buronan kelas kakap pun melekat. Sempat tertangkap pada 28 Februari 1947, Monginsidi berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 1947.

Setelah berulang kali membuat Belanda kepayahan, Monginsidi kembali diringkus pada 26 Oktober 1948 setelah dikhianati rekan dekatnya.

Tiada lagi kisah pelarian lantaran selnya dijaga dengan ketat. Interogasi penuh penyiksaan demi mengorek keterangan perihal rekan sesama pejuang dilakukan, namun mulut Monginsidi tetap tertutup rapat.

Usai jalani proses pengadilan dan masa tahanan masuk bulan kelima, dia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Kolonial pada 26 Maret 1949.

Pada saat bersamaan di Jakarta, pihak Indonesia enggan mundur dari upaya menangguhkan hukuman matinya dengan alasan Belanda harus memisahkan antara motif politik dan motif kriminal murni.

Adapun kubu lawan berdalih aksi Monginsidi dilandasi yang pertama, lantaran saat itu yang bersangkutan berstatus sebagai gerilyawan.

Selama berada dalam penahanan, Belanda siap memberi Monginsidi pengampunan. Akan tetapi dengan syarat ia mau bekerjasama.

Reaksinya? Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Hari eksekusinya kian dekat, namun Den Haag masih saja keras kepala.

Kecaman pun sudah dilayangkan langsung kepada Ratu Juliana. Sedang Ketua Panitia Tawanan Politik RI saat itu, Mr. Tirtawinata, belum mau menyerah. Namun, segala usaha berakhir sia-sia.

Senin pagi 5 September 1949, Monginsidi digiring ke lapangan Tangsi KIS dengan raut wajah tenang sembari memeluk kitab suci yang menemani hari-hari terakhirnya.

Ia masih sempat menjabat tangan regu eksekutor dan meminta mereka menembak setelah mulutnya memekik sebuah kata.

Monginsidi kemudian mengambil jarak hanya beberapa meter. Lantaran menolak memakai kain penutup mata, tatapannya tertuju lekat ke moncong senapan yang mengacung. Aba-aba lalu diberikan.

Semua menunggu kata yang bertindak sebagai pembatasnya dengan maut. Suasana hening, dan kemudian teriakan Monginsidi memecah ketenangan pagi itu.

"MERDEKAA!!!" Tangan kanan Monginsidi memegang Alkitab, dan tangan kiri mengepal ke udara setinggi mungkin.

Sebelum teriakan paraunya lepas, letup senjata bersahutan. Peluru dilepas secara bersamaan. Terdengar suara daging terkoyak. Darah menghambur di udara. Sembilan peluru bersarang di tubuh pemuda yang masih berusia 24 tahun itu. Monginsidi jatuh rebah, menyatu dengan Tanah Air yang ia bela selama ini.

Halaman
1234

Berita Terkini