TRIBUNLUTIM.COM, MALILI - Pendidikan dan pelatihan ala Kelompok Pecinta Alam (KPA) Sanggar Kreatif Anak Rimba (Sangkar) Luwu Timur ramai disoroti masyarakat luas.
Masyarakat menilai, diklat yang dilakukan senior KPA Sangkar tersebut hanya kedok untuk menyiksa pesertanya.
Itu setelah, salah seorang peserta diklat KPA Sangkar bernama Muh Rifaldi (18) meninggal dunia dengan luka lebam di sekujur tubuh, Sabtu (13/3/2021).
Rifaldi meninggal dianiaya dan disiksa oleh seniornya yang menjadi panitia dalam diklat berlangsung di Batu Putih, Kecamatan Burau dari Selasa 9 Maret 2021 itu.
Termasuk Anggota DPRD Luwu Timur, Masrul Suara yang meminta polisi mengusut tuntas penganiayaan yang menghilangkan nyawa Rifaldi.
Menurut Masrul, menghilangkan nyawa seseorang itu harus ada tersangkanya karena bukan kasus kecil.
"Besar kasusnya ini, nyawa orang loh yang dihilangkan. Harus ada yang bertanggung jawab atas hilangnya nyawa anak kami," kata Masrul kepada TribunLutim.com, Minggu (14/3/2021).
Masrul mengatakan harusnya polisi mendalami dan melakukan investigasi mendalam terkait kasus yang menewaskan Rifaldi.
"Polisi harus kejar ini, harus dituntaskan, ini bukan kejahatan biasa," imbuhnya.
"Semua (yang terlibat) harus diamankan. Kalau perlu seniornya semua ditahan untuk dimintai keterangan," jelas Masrul.
Salah seorang peserta diklat, Aditya menceritakan hari pertama diklat, mereka disuruh kumpul lalu dibacakan pencabutan Hak Asasi Manusia (HAM) lalu seluruh peserta dipukuli.
Pencabutan HAM ini, mengharuskan peserta diklat harus menerima tindakakan semenah-menah yang dilakukan senior kepada peserta, tanpa boleh melawan.
Setelah itu, peserta disuruh mendaki dan saat tiba di camp 2, peserta kembali dipukuli oleh senior. Aditya mengatakan ia ikut karena informasinya untuk mendaki atau camping.
Ia tidak berfikir saat tiba dilokasi akan dipukuli atau disiksa. Ia mengaku dipukuli pada bagian muka, kaki, pantat dan lengkap juga dengan tendangan yang diterima.
Aditya dan rekannya takut bertanya atau melawan saat dipukul. "Karena kalau bertanya ki semakin dipukul ki. Pokoknya kami diam saja dipukul," kata Aditya, siswa SMPN 3 Wotu ini.