TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Selama Pandemi Covid-19, ada ratusan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar mencatat, sedikitnya ada 467 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang didominasi kasus KDRT.
"Kekerasan terhadap perempuan 224, kalau untuk kekerasan anaknya ada 200an lebih juga, karena kan anaknya juga biasa kena pukul. Jadi ada sekitar 467 kasus semua," kata Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) P2TP2A Makassar, Makmur dikonfirmasi tribun, Senin (2/11/2020) sore.
Umumnya, kata Makmur, kekerasan itu dialami oleh para istri. Pemicunya kata dia adalah cekcok permasalahan ekonomi.
"Kan selama pandemi ini, kebanyakan memang mengalami kesusahan soal ekonomi keluarga. Ada yang di PHK, ada yang susah cari kerja dan sebagainya," ujarnya.
Sementara istri minta uang belanja, anak minta uang data untuk belajar online dan lain-lain, sehingga pemicunya faktor ekonomi.
Menurutnya, KDRT yang ditangani itu menyentuh semuah kalangan masyarakat. Baik kalangan menengah ke bawah maupun menengah ke atas.
"Ada yang cekcok gara-gara suaminya yang buruh bangunan tidak lagi kerja karena kurang proyek misalnya, sopir sepi penumpang, menengah ke atas juga begitu. Misalnya pengusaha yang sebelumnya banyak pemasukan, sekarang berkurang dan lain-lain," terang Makmur.
Dari ratusan kasus yang ditangani itu kata Makmur, P2TP2A dibawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar terus melakukan pendampingan atau assesment.
Mulai dari pendampingan psikologi hingga hukum. Namun kata dia, dari ratusan kasus itu, mayoritas dapat tertangani dengan mediasi atau tanpa menempuh jalur hukum.
"Kalau sampai ke ranah hukum, belum ada sejauh ini karena kebanyakan kembali akur setelah kita mediasi. Mediasnya itu kita berikan pemahamanan bahwa kondisi saat ini memang mengharuskan kita bertahan dalam keterbatasan," bebernya.
Namun demikian, lanjut Makmur, dua dari ratusan kasus KDRT yang ditangani ada yang berujung pada perceraian.
"Hanya dua yang berakhir dengan perceraian. Karena memang sudah tidak bisa dimediasi baik dari pihak keluarga perempuan dan laki-laki, sementara lainnya kebanyakan kembali akur," ungkapnya.
Pihaknya pun berharap agar para suami dan istri mampu memhami kondisi pandemi saat ini.
"Jadi perlu adanya pemahaman bersama baik istri maupun suami. Kondisi saat ini memang belum normal, jadi kalau biasanya belanja banyak, ya dikurangi saja dulu, atau disesuaikan dengan kondisi," imbuhnya.(Tribun-Timur/Muslimin Emba).