Pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020 aksi massal terjadi setidaknya 60 Kota/Kabupaten tersebar di lebih dari 20 Provinsi melakukan aksi penolakan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Kemarahan rakyat meledak diseluruh penjuru Indonesia.
Akan tetapi, protes tersebut kemudian direspon oleh Negara, tindakan-tindakan brutal aparat sepanjang aksi serentak terhadap massa aksi yang terdiri dari dari bermacam-macam elemen masyarakat tersebut diiringi dengan penangkapan terhadap ribuan massa aksi.
Dengan dalil Covid-19, aparat seolah menemukan legitimasi untuk bertindak diluar kendali yang berlaku.
Pertanyaannya adalah, mengapa aksi-aksi demonstrasi sebagai bentuk pengawasan dan protes terhadap Negara seakan-akan tak boleh dilakukan meskipun menerapkan protokol kesehatan, sementara para elit politik dengan santainya melakukan kampanye politik untuk menyongong pilkada yang dipaksakana di tengah situasi pandemi?
Kita yakin bahwa membubarkan aksi demonstrasi damai dengan kekerasan dan monopoli aturan adalah bentuk pelanggaran HAM!
Semua ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi apapun adalah tindakan kriminal yang harus dibubarkan dan pelakunya mesti diburu, ditangkap, bahkan boleh untuk disiksa. Tindakan seperti ini adalah Nampak sebagai tindakan terror apartus represif Negara terhadap suatu kritik masyarakat.
Sementara demonstrasi adalah hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat yang dijamin orang untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Dari rentetan kasus ataupun peristiwa yang terjadi, sepatutnya kita sadar melihat realitas yang makin menyedihkan dan menyebalkan ini.
Mereka yang kita harap menjadi perwakilan kita, tempat kita memangkukan harapan kita, teryata sama-sama menegaskan dirinya sendiri, bahwa kita tidak perlu menaruh harapan pada mereka.
Realitas ini memaksa kita untuk sadar, saatnya untuk membangun Solidaritas Horizontal. Organisir diri sekarang juga !
Sekwdar diketahui, unjukrasa ricuh di Makassar menjerat enam mahasiswa yang ditetapkan terangka.
Mereka yang ditangkap, Sari Labuna (21) aktivis mahasiswi yang menjadi jenderal lapangan Barisan Rakyat Bergerak (BAR-BAR) aksi unjukrasa 'Tolak Omnibus Law' ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, juga terdapat lima lainnya yang merupakan teman Sari Labuna. Mereka, K, Ince, N alias Y, MF, D.
Namun pasal yang diterapkan dari ke enam tersangka itu berbeda.
Melalui data penanganan pelaku unjukrasa yang diperoleh dari Humas Polda Sulsel, Sari Labuna disangkakan pasa 214 KUHP bersama seorang mahasiswa berinsial K.