Laporan: Syamsuddin Radjab
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Alauddin Makasar
Melaporkan dari Jakarta
Simposiom Asia Tenggara bertajuk Problematics of Muslims in the Covid-19 Pandemic digelar secara virtual, Sabtu (13/6/2020).
Pada acara ini, saya diundang sebagai pembicara dipanel dengan Prof Doktor Sukree Langputeh dari Universitas Fatoni (Thailand).
Pembicara lain adalah Prof Dr Gamal Nasir Zakaria dari Universitas Brunei Darussalam, dan Dr. Suyatno Ladiqi dari Universitas Sultan Zainal Abidin (Malaysia).
Sementara keynote speaker pada kesempatan ini adalah Prof Dr Yusril Ihza Mahendera, mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus politikus PBB.
Simpsiom ini dipandu oleh PKP Kemenkumham Sulawesi Selatan Fachrurozy Akmal.
Dalam kesempatan itu, saya berbicara soal penanganan pendemi Covid-19 yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam perspektif hukum dan dampak yang dirasakan umat Islam.
Sebagai negara mayoritas Muslim, maka saya katakan, umat Islam yang paling terdampak dari pandemik Covid-19 di Indonesia,
Pandemi ini juga berdampak pada tatanan ekonomi, sehingga menjadi penyebab banyak orang kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak sampai di situ, pendemi ini juga menyebabkan penundaan pilkada serentak di 270 daerah di Indonesia.
Dampak lainnya, juga dapat dilihat dari sisi hukum tentang adanya permakluman, pengabaian, pengecualian dan praktik peradilan.
Begitu juga dengan pembatasan kegiatan sosial atau interaksi satu sama lain, penutupan tempat ibadah, lembaga pendidikan, pelarangan mudik.
Kemudian masalah lainnya karena Covid-19 bisa dilihat dari adanya penolakan sebagian masyarakat atas janazah korban Covid-19.
Juga terjadi penolakan terhadap tenaga kesehatan yang kembali ke rumah atau ke kosannya.
Penolakan terhadap pengaturan larangan shalat di Masjid selama Covid-19 oleh kelompok tertentu di masyarakat.
Terjadi pula penolakan masyarakat dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Hingga kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan seperti pakai masker, selalu cuci tangan dan menjaga jarak fisik.
Bahkan kini marak terjadi penolakan test Covid-19 dalam situasi Covid-19 hingga pengambilan paksa mayat di rumah sakit di beberapa daerah Indonesia akibat ‘ketidakpercayaan; masyarakat bahwa jenazah tersebut terjangkit Covid-19.
Beberapa data memang terjadi demikian adanya. Menurut saya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 bias.
Misalnya, soal pelarangan mudik dan/atau pulang kampung saat Idul Fitri sehingga menimbulkan mis-persepsi masyarakat terutama umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah Idul Fitri di kampung halamannya.
Begitu juga dengan ketidak-tegasan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pelaksanaan PSBB sehingga masyarakat/umat Islam berusaha dengan cara apapun
termasuk upaya pemalsuan dokumen demi dan untuk kembali ke kampung atau urusan lainnya.
Saya juga menyampaikan terjadinya pemberian bantuan sosial pemerintah yang tidak tepat sasaran dan ketidaktepatan data penerima baik yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Pedesaan/Daerah Tertinggal serta pemerintah daerah.
Pun perihal kebijakan kenormalan baru yang saat ini berlangsung tanpa menimbang syarat yang ditentukan oleh WHO sehingga angka kurva terinfeksi dan kematian semakin tinggi beberapa hari terakhir.
Karena itu saya berharap, ada hikmah dibalik pandemi Covid-19 ini.
Peristiwa Covid-19 menjadi tanda kekuasaan Allah SWT atas segala kehendak-Nya karena faktanya manusia tidak memiliki kekuataan apapun dalam menghadapi suatu keadaan dan hanya kepasrahan kepada Allah SWT.
Tapi selain itu, saya yakin Allah memberikan akal pikiran guna menjadi alat solusi dari suatu keadaan yang sulit tersebut.
Dengan ilmu pngetahuan dan teknologi manusia dapat mengatasi wabah/bencana dengan ditemukannya vaksin untuk mengobati penyakit yang sedang melanda suatu wilayah.
Semakin menguatkan rasa keimanan kepada Allah SWT dan memaksimalisasi kekuatan pikiran manusia sebagai modal dasar dalam kehidupan yang diberikan kepada segala umat manusia. (*)