Ute Nurul Akbar
PNS Pemkot Makassar, mantan aktivis mahasiswa, alumnus Universitas Negeri Makassar
MARHABAN ya Ramadhan, selamat datang Ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat malam yang paling agung, malam 1.000 bulan.
Ramadhan pada zaman Rasulullah dan sahabat- sahabatnya tentu berbeda dengan kondisi yang kita hadapi saat ini.
Meski esensinya sama, yakni berpuasa (dengan segala muatan dan syarat yang ingin dicapai) tentu sangat berbeda.
Ramadhan tahun ini akan sangat terasa berbeda.
Ujian yang kita hadapi bertambah tebal, baik itu dalam hal ritual ibadah yang dianjurkan dilaksanakan di rumah saja, sampai pada kepekaan dan kebiasaan konsumtif kita ikut teruji.
Rayuan Sesat Komsumerisme
Seperti tahun- tahun sebelumnya, hal yang fatal dalam suasana Ramadhan di Indonesia adalah konsumerisme yang membabi buta.
Kapitalisme yang merangsek tanpa kita sadari dalam semua sendi kehidupan kita sangat berperan dalam menciptakan godaan dan gangguan “beramadhan”.
Atas nama agama, konsumerisme dibangun seolah itu menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh umat Islam yang lalu menjadi pasar paling menjanjikan bagi perputaran kuasa modal.
Di sinilah salah satu bahaya dari kapitalisme, yaitu selubung ketidaksadaran yang kita alami atau dalam istilah Marx disebut alienasi.
Tren model atau menu apapun namanya sengaja dibuat oleh para kapitalis untuk membatasi masa penggunaan barang yang menjadi hak otonom kita dengan cara menciptakan klaim “sudah ketinggalan zaman” agar terjadi perputaran modal/ barang yang terus menerus mereka produksi.
Hal ini sangat wajar mereka lakukan mengingat bentuk paling mutakhir sistem ekonomi kapitalis yang menempatkan ‘konsumsi’ sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat kapan pun dan di manapun.
Konsumerisme tentu adalah suatu sikap yang bertolak belakang dengan substansi diwajibkannya puasa agar seseorang mampu mengendalikan hawa nafsu (konsumtif), meningkatkan kepedulian terhadap sesama dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sehingga menjadi insan yang bertakwa.