Owner Warkop Dottoro Meninggal

Owner Warkop Dottoro, dari Pelayan, Kini Punya 30 Karyawan, Brandnya Sampai Gorontalo

Penulis: Muhammad Fadhly Ali
Editor: Imam Wahyudi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muh Nurdin, anak keempat Almarhum Haji Idrus Dg Naba menceritakan tentang suksesi bapaknya berbisnis kopi

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Owner Warkop Dottoro, Haji Idrus Dg Naba, tutup usia di umur 67 tahun.

Ia meninggalkan 8 orang anak. 5 laki-laki melanjutkan usaha warung kopi ayahnya di beberapa cabang. 3 anak perempuannya ikut suaminya yang juga usaha warkop.

Selepas Dg Naba disemayamkan di pemakaman keluarga di Jl Goa Ria Makassar, Kamis (2/1/2020), anak perempuanya urutan ke-6, Jumriany, melanjutkan usaha bapaknya di Jl Tinumbu Makassar.

Begitulah penjelasan Muh Nurdin, anak keempat Dg Naba yang ditemui di kediamannya usai mengantarkan bapaknya di tempat peristirahatan terakhir.

Nurdin anak keempat dari pasangan Dg Naba dan Hj Saritang. Awal pembicaraan, Nurdin menceritakan awal bapaknya terjun di bisnis kopi.

"Sebelum rintis Warkop Dottoro, awalnya bapak jadi pelayan di warung, saya lupa namanya apa, tapi yang punya itu Dg Ngaming," ujar Nurdin.

Lokasi warungnya bekas gudang, yang sekarang jadi Apotik tepat di warkop Dottoro Jl Tinumbu saat ini.

"Dulu itu gudang, dijadikan warung sama Dg Ngawing, nah merantauki Dg Ngawing, diberilah warung itu sama bapak. Harganya (warung) waktu itu  Rp 7.500 tahun 1965," katanya.

Dia (Dg Naba) lanjutkan usaha itu, namun memutuskan pindah ke belakang. Ruko itu dijadikan apotik.

Tahun 1975 Dg Naba merintis perdana Warkop Dottoro. Awal mula nama Dottoro, karena setiap selesai salat Subuh, jamaah ramai mampir di warkop Dg Naba seraya meminta dibuatkan segelas kopi yang khas.

“Pelanggan bilang kalau sudah minum kopi racikan bapak, sakit kepalanya bisa hilang, mungkin itulah sampai bapak dipanggil Dottoro (dari kata dokter-Bahasa Makassar),” kata lelaki 41 tahun itu.

Ia memperkirakan, saat bapaknya mulai merintis usahanya 35 tahun silam, warkop yang ada jumlahnya paling lima atau tujuh, waktu itu sekitar tahun 1975.

“Bapak saya pernah bilang, meracik kopi tidak segampang yang kita kira, racikan kopi harus punya ukuran, dan tidak sekedar disiram air panas lalu diberi susu kental lantas selesai,” ujarnya mencontohkan bapaknya.

Jatuh bangun membuka warkop bagi Dg Naba punya cerita tersendiri. Termasuk juga saat dia numpang buka warkop di sebuah gudang, lalu pindah di depan lorong, yang membuatnya harus bersabar.

Apalagi waktu itu tidak seramai saat ini. Pelanggan kopi yang masuk ke warungnya tidak seberapa, sehingga kalau sore hari sudah tutup.

Halaman
12

Berita Terkini