Projo dikenal karena merupakan salah satu relawan darat terbesar dan memiliki status resmi organisasi kemasyarakatan (Ormas) dari Kementerian Hukum dan HAM.
Ciri khas Projo adalah bersifat sukarela, terbuka, sosial, tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama, golongan, serta latar belakang sosial politik kemasyarakatan.
Konggres Pertama Projo 23 Agustus 2014 di Jakarta memutuskan untuk merubah gerakan relawan Jokowi ini menjadi Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS).
Projo adalah organisasi relawan Jokowi yang mampu bertarnsformasi dari kelompok relawan menjadi Ormas. " Dari kerumunan menjadi barisan politik "
Etimologi
Projo berasal dari Bahasa Sanskerta yang berarti pemerintahan negeri, kerajaan, atau istana.
Dalam Bahasa Jawa Kawi artinya rakyat. Jadi orang-orang yang mengaku Projo adalah orang-orang yang mencintai negeri dan rakyat.
Nama ini dengan mudah diingat karena sederhana dan singkat.
Dengan nama Projo, mudah sekali mengasosiasikan dengan akronim Pro dan Jokowi, selain juga karena mirip dengan terbentuknya akronim ProMeg (Pro Megawati) yang terbentuk pada 1998, di mana anggotanya juga banyak yang menjadi anggota Projo.
Budi Arie, sebagai salah satu deklarator, ikut mengkonfirmasi hal ini. Menurutnya, Projo mudah menancap di kepala, mudah diingat, mudah diucapkan, dan mantap.
Sejarah
Projo didirikan melalui Kongres I Projo, pada tanggal 23 Desember 2013.
Deklaratornya rata-rata adalah kader PDI Perjuangan atau aktivis mahasiswa 1998, antara lain Budi Arie Setiadi, Gunawan Wirosaroyo, Suryo Sumpeno, dan banyak aktivis lainnya.
Setelah deklarasi, jaringan Projo langsung dibuat secara nasional.
Strukturnya dibentuk mulai dari pusat, daerah, cabang, hingga ke desa dengan mengandalkan dana swadaya, dengan menganut model aksi massa, advokasi dan berinteraksi langsung dengan rakyat.