Oleh: Munawir Ariffin
Anggota KPU Polewali Mandar
Ekspektasi pemilihan umum (Pemilu) dan kepemiluan kita selama masa transisi demokrasi tentu tidak selamanya membawa angin segar perubahan. Terutama setiap kali pemilihan umum telah dilaksanakan. Riuh gemuruh sebelum dan sesudah pelaksanaan pemilu menghadirkan suara-suara optimisime sekaligus pesimisme dari berbagai kalangan.
Ini mungkin sebuah keniscayaan terhadap tuntutan demokrasi itu sendiri, agar segalanya yang telah dilakukan rakyat dalam memberikan suaranya (one man one vote) mampu menghadirkan kepemimpinan yang lebih baik dalam menjalankan mandat kerakyatan dan kesejahteraan yang dipikul oleh pemimpin dan wakil rakyat yang telah terpilih dalam pemilu.
Pada pemilu 2019 lalu menargetkan standar partisipasi sebesar 77,5 persen secara nasional. Sebuah standar partisiasi sekaligus ekspektasi yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Demi memenuhi dan mencapai target tersebut, KPU telah melakukan segala upaya termasuk membentuk Relawan Demokrasi, walau juga telah dilakukan pada pemilu 2014 lalu.
Hasilnya, setelah pelaksanaan pemilu 17 April lalu, menurut data KPU RI, partisipasi masyarakat dalam memilih meningkat 10 persen dibanding pemilu 2014 lalu, dari pilpres 2014 sebesar 70 persen menjadi 81 persen.
Tentu dalam hal memuaskan bagi penyelenggara pemilu dalam hal pencapaian tingkat partisipasi yang melampaui target nasional. Tapi bagi sebagian kalangan, kuantitas demokrasi kita belum sebanding dengan fakta tentang kualitas demokrasi yang barang tentu meninggalkan masalah-masalah klasik pelanggaran pemilu.
Semisal money politic, integritas penyelenggara, politik birokrasi, dan tentunya Hoax pemilu termasuk beberapa penyelenggara pemilu (pejuang demokrasi) yang wafat pada saat pelaksanaan pemilu. Hal-hal tersebut menjadi gugatan bagi penyelenggara dan refleksi terhadap kualitas pemilu yang tidak sebanding dengan anggaran pemilu yang lebih kurang mencapai Rp 25 triliun.
Pada Konferensi Regional II yang baru saja dilaksanakan di Manado pada 12-14 September dengan mengangkat tema Peningkatan Partisasi Masyarakat sebagai sebuah tahapan evaluasi penyelenggaraan membahas segala kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan pemilu. Kendati demikian, sebuah pengakuan bagi negara lain yang memberi hormat kepada bangsa kita yang sukses dalam melaksanakan Pemilu sehari terbesar di dunia.
Tentu saja sebuah kebanggaan bagi kita sebagai penyelenggara dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia dan seluruh element masyarakat yang telah ikut mengawal pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 sehingga beberapa negara memberi penghormatan terhadap penyelenggaraan pemilu bisa menjadi kiblat dan contoh pemilu bagi negara-negara moderen dalam hal mengelola pelaksanaan dan pemilu serentak dalam sehari bukan?
Selain itu, penggunaan sistem perhitungan berbasis online juga mendapat apresiasi bagi penyelenggara, dalam hal meningkatkan kualitas transparansi dalam pemilu. Kita bisa sedikit berbangga terhadap proses penghitungan dengan sistem online, walau bukan menjadi penentu terhadap hasil perhitungan yang sesungguhnya dengan menggunakan metode dan proses penghitungan manual yang dilakukan di tingkat TPS, PPK, Kabupaten, Provinsi dan Pusat.
Konteks lokal dan ekpektasi kita dengan sistem pemilu model serentak ini dan pencapaian target partisipasi nasional hingga 81 persen, juga mengindikasikan bahwa pelaksanaan pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten, terkhusus kabupaten Polewali Mandar juga meningkat, walau di daerah lain secara nasional belum mencapai target dan ekspektasi yang diinginkan.
Dalam konteks pelaksanaan pemilu 2019 di provinsi Sulawesi Barat, partisipasi pemilih juga meningkat mencapai 86 persen dari sebelumnya sebesar 75 persen. Begitupun pada tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Polewali Mandar, pada pemilu sebelumnya hanya mencapai 74 persen dan pada pemilu 2019 mencapai angka 80 persen.
Bisa dikatakan trend angka partisipasi di Polewali Mandar meningkat signifikan dan tertinggi di Sulbar yaitu peningkatan partisipasi mencapai 16 persen. Terlepas dari pencapaian tingginya tingkat partisipasi masyarakat terkhusus di Sulawesi Barat dan Kabupaten Polewali Mandar.
Kita tidak sepenuhnya bisa menghindari obrolan-obrolan mencerahkan di raung informal dan jauh dari angka-angka ideal partisipasi yang tinggi, kesuksesan pemilu yang berjalan dengan lancar, penghormatan dan apresiasi negara lain tentang kesuksesan “the biggest one day election” di negeri kita tercinta.
Obrolan-obrolan pasca-pemilu 2019 tentang sesak dan rumitnya pemilu, kualitas pemilu yang tidak beranjak dari tempatnya, keraguan kepemimpinan yang dihasilkan, integritas penyelenggara pemilu yang diragukan, termasuk tingginya partisipasi yang digugat karena dibarengi tingginya money politic (politik uang) dan mobilisasi politik dalam pemilu.