TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI) Gowa Raya ikut bereaksi saat tahu adanya razia buku lelompok yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia (BMI) melakukan razia buku di salah satu toko buku sebuah Mal, di Jl Metro Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (3/8/2019.
Mereka menyita beberapa buku seperti “Dalam Bayang-Bayang Lenin”, “Pemikiran Karl Marx”, dan “Tokoh-Tokoh Dunia yang Mempengaruhi Pemikiran Bung Karno"
Sekretaris LKBHMI Gowa Raya, Fajar Nur mengkritik langkah dari kalangan para aktivis Kota Makassar karena dianggap sebagai tindakan primitif dan prematur.
Baca: Begini Kronologi Penikaman Hingga Tewas di Jalan Toddopuli 2 Makassar
Baca: Samsat Makassar II Sosialisasi Pajak Kendaraan dengan Gowes ke Lorong
Baca: VIDEO: Suasana Gala Dinner IKA Smansa Makassar Angkatan 1994
Menurutnya, tindakan pemuda itu menyesatkan masyarakat Kota Makassar karena mereka tak tahu adanya keberadaan buku-buku di Gramedia.
"Saya tidak tahu persis apa yang menjadi dasar pemikirannya sehingga mereka yang terlibat Itu menolak keberadaan buku-buku bacaan yang menambah wawasan kita," katanya.
Kalau razia buku tersebut, lanjut Fajar, dilakukan hanya dengan berasumsi bahwa buku-buku (Marxisme, Leninisme dan sebagainya) semacam itu menyebarkan paham radikalisme sehingga berdampak pada hilangnya keakraban antar warga negara atau tersesatnya warga negara karena mengkonsumsi buku bacaan tersebut.
"Bisa juga diartikan, Presiden kita yang pertama, Ir Soekarno dan keempat, Abdurrahman Wahid termasuk yang menyebarkan paham paham radikalisme," katanya.
Ia menjelaskan, Soekarno, menulis buku tentang dibawah bendera revolusi yang pada intinya.
"Pandangan dan pemikiran Soekarno sangat terpengaruh oleh paham Marxisme, terdorong rasa keprihatinannya akan nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang adalah kaum proletar dan buruh jajahan asing dan kaum kapitalis," katanya.
Sedangkan, Abdurrahman Wahid Gus Dur justru Presiden yang dianggap paling kontroversial karena mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 mengenai pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme serta komunisme di Indonesia.
Terakhir, Saya sependapat dengan pemikiran Roy Murtadho dalam akhir tulisanya tentang "Iqra: Perintah Membaca dan Phobia Komunisme."
"Harusnya kita sebaga warga negara melihat pemikiran apapun, demikian juga paham paham ataupun ideologi, sebagai hasil eksperimen pemikiran dan praktik politik," katanta.
Ia pun mengatakan, haruslah diletakkan secara objektif sebagai pengetahuan yang wajib dipelajari sebelum menerima atau menolaknya.
"Yang mengecewakan adalah ketika ada anjuran untuk menjauhi pemikiran tertentu, bahkan memusuhi pemikiran tertentu, tanpa mereka tahu apa isi dan kandungan yang mereka musuhi. Tanpa aktivitas Ilmiah maka warga negara hanya sekedar kumpulan masyarakat impulsif dan histeria," katanya.
Kontroversi razia buku yang beberapa pemuda tersebut, menjadi viral karena adanya video yang beredar di sosmed (Whatsapp) sehingga menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat dan aktivis.(*)