OPINI

OPINI - Tafsir Media Sosial dan Kelahiran Hoax

Editor: Aldy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar dan Pegiat literasi dari Perpustakaan Rakyat “Pustaka Simposium” di Gowa

Oleh:
Fachrurrozy Akmal
Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar dan Pegiat literasi dari Perpustakaan Rakyat “Pustaka Simposium” di Gowa

Pascaaksi unjuk rasa 22 Mei 2019 di depan gedung Bawaslu-RI, Pemerintah melalui Kemenko Polhukam-RI dan Kemenkominfo menyatakan membatasi akses media sosial hingga beberapa hari kedepan.

Hal ini dianggap sebagai upaya preventif untuk menekan penyebaran berita bohong (Hoax) yang berpotensi berkembang di media sosial.

Kebijakan ini menuai reaksi yang beragam, mulai dari protes hingga apresiasi di kalangan masyarakat pengguna media sosial.

Jika kita mencoba untuk lebih tabayyun dalam melekatkan penilaian khususnya melihat situasi dan kondisi terkini, hari-hari ini media sosial bukan hanya sekedar wahana untuk saling menegur sapa, berkabar dan berinteraksi melainkan juga sebagai ruang propaganda yang cukup efektif.

Sebenarnya, sejauh pengamatan penulis media sosial hari ini tak ubahnya sebagai arena perebutan makna.

Siapa yang mampu mengekspansi dan menguasai jejaring media sosial dalam rangka memberikan pengaruh dan kecenderungan bagi pengguna lainnya, tentunya akan dengan mudah menancapkan kebenaran versinya sendiri atau versi kelompok yang berkepentingan.

Hari ini kita dihadapkan pada kenyataan dimana informasi yang beredar (bisa saja) menjadi ancaman serius bagi kedaulatan negara.

Baca: Donor Darah Ramadan PSMTI Sulsel Kumpulkan Ratusan Kantong Darah

Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi.

Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi.

Dari data tersebut kita bisa menaksir bagaimana pengaruh media sosial terhadap separuh populasi masyarakat Indonesia dalam membentuk pemaknaan bagi realitasnya.

Atau dalam bentuk sederhana, pemaknaan yang didapatkan dari dunia virtual akan berpengaruh dalam dunia aktual.

Dalam hal ini penggiringan opini yang bermuara pada tindakan nyata menjadi tujuan utama mengapa sebuah konten atau informasi disebarluaskan ke khalayak pengguna media sosial.

Sementara kebudayaan digital pada hari ini justru menyamarkan jarak antara informasi dan fakta, bahkan antara ekses politik dan entertaintment.

Hari ini kita menyaksikan sebaran informasi dalam genggaman justru seringkali tak sesuai referensi realitasnya.

Ia hadir dalam bentuk tanda yang bebas di tafsir oleh siapapun.

Baca: Jebolan Hafiz Indonesia Beri Inspirasi Quran ke Penghafal Quran, Yatim, dan Dhuafa

Sebut saja bagaimana interpretasi dan tanda (sign, representamen) yang dimaksud Charles Sanders Pierce dalam istilah Rheme yang memungkinkan seseorang mengkonsumsi tanda dan memberikan interpretasi berdasarkan pilihannya.

Sebagai sandaran dalam memahami maksud Charles Sanders Pierce, beberapa waktu lalu masih erat di ingatan kita tentang video paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto yang dianggap tidak ingin bersalaman dengan pendukungnya.

Sekilas, dalam video tersebut Prabowo terlihat sigap menarik tangannya dengan cepat saat bersalaman. Sementara, yang menyaksikan video tersebut pun memiliki tafsir yang beragam.

Ada yang beranggapan Prabowo menghormati yang lebih tua agar tangannya tidak dicium, ada juga yang beranggapan Prabowo tidak ramah kepada pendukungnya.

Atau bagaimana gesture Jokowi saat memencet pulpen pada sesi debat capres-cawapres ditafsir oleh sebagian orang sebagai alat komunikasi jokowi untuk mendapatkan jawaban saat berdebat.

Namun saat diperiksa oleh wartawan ternyata hanya pulpen biasa. Inilah yang dimaksud Rheme bentuk penafsiran berdasarkan pilihan yang kadang tidak sesuai dengan sandaran realitasnya.

Dari tafsir yang beragam dan berkembang di media sosialjustru menjadi embriodan peluang sebaranHoax di kalangan masyarakat.

Baca: Usai Rapat Konferensi Cabang XIV, PCNU Makassar Buka Puasa Bersama Anak Kurang Mampu

Baca: UNM Tutup Seleksi UTBK, Rektor: Hasilnya Berbentuk Skor

Obesitas Informasi
Dari beragam tafsir yang lahir ditengah masyarakat akhrinya menjadi komoditi yang menarik untuk diramu sebagai konten pembenaran bagi pihak tertentu.

Tafsir yang beredar sebenarnya memiliki konsekuensinya masing-masing.

Ada yang berakhir sebagai isu yang liar lagi populer dan berujung hoax, ada pula yang putus ditengah jalan karena ketidakmampuannya bertahan lama dalam trending topik lini masa.

Namun, sejatinya, sejak beberapa dekade lalu kita telah diselimuti oleh dua macam pembenaran dalam memperoleh informasi.

Yang pertama adalah logika akan kecepatan informasi (Dromologi informasi) yang di paparkan oleh Paul Virilio dalam Dromology of Knowledge yakni ilmu dalam mempercepat tempo kehidupan, pergantian objek, informasi dan tanda serta komoditi yang membuat kita berlari mengikuti informasi terkini tanpa interupsi hingga sulit membedakan antara fakta dan simulasi.

Yang kedua adalah fenomena penumpukan informasi (Obesitas Informasi) yang terjadi seiring kecepatan informasi.

Penumpukan informasi yang tidak berguna dalam genggaman kita, khususnya dalam jagat media sosial sejatinya membuat kabur batasan antara benar dan salah.

Kita akan dipaksa memilah diantara tumpukan informasi yang beredar.

Dan arus utama dalam peredaran ini (Hoax) adalah media sosial yang memaksa pemerintah untuk sejenak membatasi penggunaan media sosial kita hari ini. (*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Sabtu (25/05/2019)

Berita Terkini