Oleh: Rustan Ambo Asse
Ketua Forum Komunikasi Residen ( FOKUS) Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis FKG Unhas
BEBERAPA kali saya membaca opini Ostaf Al-Mustafa: Unhas dan Buluh Sejarah Pengekangan Mahasiswa yang dimuat di harian Tribun Timur edisi Selasa 31 Juli 2018 lalu.
Merenungkan tulisan itu seakan mengajak kita untuk mendalami upaya pembetukan lembaga kemahasiswaan tingkat universitas sebagai situasi paradoks.
Apa yang disebut Ostaf sebagai ‘sengkarut’ di Unhas akan kembali memantik pasang surut dinamika kemahasiswaan di Universitas Hasanuddin.
Ketika optimisme yang merebak tentang gagasan pembentukan lembaga kemasiswaan dianggap sebagai ‘tesa’ dan gagasan dalam opini Ostaf dianggap sebagai ‘antitesa’, maka sejatinya Kampus Unhas perlu menemukan ‘sintesa’ untuk mengkontekstualisasi nilai-nilai luhur, nilai-nilai idealitas kemahasiswaan.
Apa yang harusnya abadi dalam sejarah kemahasiswaan?
Bukankah sejarah akan melahirkan perubahan pada banyak hal, ruang, dan waktu akan menguji mereka yang mantan aktivis, tapi tonggak sejarah identitas mahasiswa sebagai entitas intelektual, merdeka , militan dan berbahaya seharusnya masih tetap hadir di kampus hingga hari ini.
Butuh atau Tidak
Dalam sejarah pasang surut pembentukan lembaga kemahasiswaan Unhas, kita tidak pernah usai menyelesaikan kontradiksi nilai yang ingin dicapai.
Mungkin saja potensi kemahasiswaan masih terjebak pada trauma masa lalu.
Sejarah yang terus diteteskan dalam bingkai kecurigaan ataukah ini serupa optimisme yang memang ingin kita kubur bersama.
Baca: OPINI - Dana Kelurahan di Tahun Politik
Sejak para aktivis mahasiswa Unhas menginisiasi terbentuknya LEMA-UH pada tahun 2000, kita tidak menemukan lagi semangat membuncah seperti kala itu.
Meskipun pada tahun 2003 benih-benih semangat itu mencoba untuk bangkit dan hingga pada akhirnya wacana tersebut tidak terdengar lagi.
Gagasan pembentukan lembaga kemahasiswaan tingkat universitas di Unhas kembali menghangat beberapa bulan terakhir.
Naiknya Prof Dr drg Andi Arsunan Arsin MKes menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unhas menurut saya memberikan semangat baru untuk merajut kepingan-kepingan asa bagi mahasiswa Unhas.
Selain sepak terjang Prof Arsunan sebagai mantan aktivis mahasiswa pada masa lalu, jejaring sebagai mantan aktivis era 80-an dapat menjadi cikal bakal dalam upaya konsolidasi lintas generasi setelahnya era 90-an dan 2000-an.
Tak ada yang menafikan sejarah buram SMU-UH seperti yang ditulis oleh bang Ostaf.
Tapi bukankah sejarah adalah ruang belajar, tempat suatu generasi akan beranjak dan membuang banyak hal?
Mungkin membuang perihnya caci maki, hitamnya duka dan luka yang menganga atau ketidakpercayaan yang harus dikubur secara massal.
Sehinggga terbentuknya BEM Unhas kelak sebagai rumah baru, mestinya menjadikan kita generasi pendahulu hadir sebagai penutur yang membangkitkan optimisme agar dunia kemahsaiswaan di Unhas kembali memeluk zamannya.
Tantangan Milenial
Mencermati fenomena dinamika mahasiswa era sekarang sepertinya tidak bisa lepas dari bingkai atau defenisi terhadap mereka sebagai generasi milenial.
Meskipun dari sisi lain membingkai mereka sebagai generasi milenial bisa jadi melahirkan konsekwensi tertentu.
Apakah generasi milenial yang tumbuh di era digital tidak serta merta mereduksi karakter tertentu dari seorang mahasiswa.
Generasi milenial dengan karakter yang terbuka, kreatif, inovatif apakah sudah disertai oleh karakter yang kuat sebagai calon-calon pemimpin di masa yang akan datang.
Baca: OPINI - Pengungsi dan Bencana
Dalam konteks eksistensi kemahasiswaan, nilai-nilai identitas mahasiswa sebagai bagian kelompok menengah intelektual apakah masih dapat hadir sebagai agent perubahan sosial meskipun dengan wajah sebagai generasi mileniel.
Seorang mahasiswa yang menguasai teknologi, kreatif, terbuka apakah sudah serta merta disertai dengan karakter yang jujur, idealis dan memiliki kesadaran social yang memadai di tengah fenomena interaksi social yang semakin pudar?
Pengkaderan kemahasiswaan sejak dulu dipahami salah satu bentuk rekayasa social menumbuhkan generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan sesuai bidangnya akan tetapi menjadi pribadi yang siap secara sosial.
Tanggung Jawab
Generasi era 80-an hingga 90-an adalah generasi yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi kemahasiswaan di Unhas saat ini.
Meskipun kedua generasi ini adalah generasi yang berada pada era yang berbeda, sehingga kedua generasi tersebut dapat berpijak pada zamannya tapi juga sekaligus bermigrasi ke era milenial.
Sehingga kita sering menemukan seseorang yang dulu tumbuh dengan permainan petak umpet di masa kecil, tiba-tiba bisa bermain game online.
Atau seseorang yang dulunya bertemu dengan kamera saat tertentu saja seperti pada acara pernikahan tiba-tiba bisa selfie sepuasnya dengan smartphone.
Baca: OPINI: Mengelola Risiko Bencana
Tarikan kehidupan generasi milenial bagi generasi pendahulu serupa candu yang dapat menarik hati, menawarkan kemudahan dan melipat waktu menjadi lebih sempit serta merngubah cara-cara kita berinteraksi sosial.
Dalam konteks yang lebih luas potensi degradasi budaya dan cara pandang seseorang tentang banyak hal dapat berubah semakin cepat.
Sehingga hal yang paling dikwatirkan adalah interaksi lintas generasi tak ada lagi batas yang jelas. Serupa tak ada batas antara mahasiswa dan dosen, guru dan murid atau seseorang yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Perubahan-perubahan yang tak diinginkan di zaman sekarang justru akibat dari pembiaran yang telah dilakukan oleh generasi pendahulu.
Demikian pula dengan eksistensi kemahsiswaan hari ini termasuk kesadaran kolektif dalam benak lintas generasi tentang urgensi terbentuknya BEM Unhas sebagai rumah belajar berorganisasi bagi mahasiswa sekaligus titik balik bangkitnya kembali ruh pengkaderan mahasiswa di Unhas. (*)
CATATAN: Tulisan di atas telah dimuat di halaman Opini Tribun Timur edisi cetak Rabu 31 Oktober 2018