KLAKSON

Kolom Abdul Karim: Lafal

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Karim

Oleh: Abdul Karim
Mantan Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Rakyat (LAPAR)

Secara lahiriah segala makhluk—termasuk manusia, punya kelebihan yang tak setara. Ini memaknakan bahwa pada segala makhluk ada kekurangan.

Pohon tomat, tak setinggi pohon cengkeh. Pohon cabe tak sebesar pohon beringin. Tetapi cabe, pedis dari beringin. 

Manusia pun begitu. Bahkan, hal-hal yang melekat pada tubuh manusia tak sama. Tetapi masing-masing punya kelebihan dan manfaat yang berbeda.

Kelebihan dan manfaat yang berbeda menjadikan manusia makhluk yang baik. “Laqade khalaqnal insana fii ahsani taqwiiim” (sungguhnya kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya), kata Tuhan. 

Bulu mata, bulu alis dan bulu hidung misalnya, pertumbuhannya tak sama dengan pertumbuhan rambut, padahal jenisnya sama; rambut.

Manusia akan kesulitan mengahadapi hidupnya bila saja bulu-bulu itu bertumbuh bak rambut. Bila saja seperti itu, manusia niscaya menjadi mahluk yang tak baik.

Baca: OPINI: Mengelola Risiko Bencana

Begitupun dalam bertutur atau berbahasa. Orang Bugis-Makassar, orang Jawa, Batak, dan lain-lain tak sama cara melafalkan sebuah kata yang sama. Ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan yang beragam.

Dibangku sekolah, ini disebut ‘folklor’. 

Kita tahu, folklor adalah bagian dari kebudayaan yang diwariskan secara tradisional, khususnya dalam bentuk lisan, melalui tutur kata dengan bunyi khas masing-masing tanpa menegasikan makna.

Saya teringat masa silam, saat duduk di bangku SD. Imam dan pegawai syara’ di kampung saat memimpin salat atau doa melafalkan ayat suci sesuai pemahamannnya.

‘Waladhoalliin’, dibunyikan ‘waladhoalliin(g)’ . ‘Amiiin’, dibunyikan ‘amiiin(g)’, dan seterusnya. Kepala kemenag yang setiap Safari Ramadan di kampung kami, tak pernah mempersoalkannya. 

Ketika mondok di pesantren, kami diajari ilmu tajwid, ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan huruf-huruf kitab suci.

Di situ pula kami diajari bagaimana menghargai keragaman cara penyebutan ayat suci di masyarakat seperti ‘Waladhoalliin’, dibunyikan ‘waladhoalliin(g)’, sebab substansi maknanya sama. 

Bahkan dalam hidup hari-haripun, fenomena serupa seringkali ditemukan. “Pengumuman”, seringkali dibilangkan “pengumuman(g)’.

Baca: Digelar di Kampung, Evi Masamba Bangun Tenda Sepanjang 50 Meter

Jadi tak usah heran dengan itu semua. Itu soal lafal. Kita tahu, lafal adalah anugerah kebudayaan yang melambangkan cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa menuturkan bunyi bahasa.

Yang mencemaskan sesungguhnya adalah jamaknya perilaku manusia beragama yang tidak mencerminkan nilai-nilai kitab suci. Akhlak, moralitas tidak dibunyikan sesuai makna lafal kitab suci.

Merasa terdepan dalam beragama, tetapi perilakunya terletak di luar lafal-lafal kitab suci. 

Kitab suci melafalkan distribusi kasih sayang, tetapi perilaku mencerminkan penyebaran kebencian. Kitab suci melafalkan kemuliaan, tapi kedurjanaan diwujudkan.

Kitab suci melafalkan kejujuran, tetapi kebohongan ditonjolkan. Mengapa? Entahlah. (*)

Catatan: Tulisan di atas telah terbit di Rubrik Opini Tribun Timur edisi cetak Rabu, 24 Oktober 2018

Berita Terkini