Opini
Ketika Guru dan Dosen Disebut Beban
Alasannya sederhana: jumlah mereka besar, gaji dan tunjangannya menyedot APBN, sementara kualitas pendidikan dianggap belum berbanding.
Oleh: Dr. Maria Ulviani
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam beberapa perdebatan publik, ada yang menyebut guru dan dosen sebagai “beban negara”.
Alasannya sederhana: jumlah mereka besar, gaji dan tunjangannya menyedot APBN, sementara kualitas pendidikan dianggap belum berbanding lurus dengan pengeluaran tersebut.
Label ini terdengar provokatif, bahkan menyakitkan. Namun, justru di sinilah kita perlu bertanya: apakah masalah pendidikan di Indonesia memang terletak pada guru dan dosen
semata?
Ironi di Ruang Kelas
Di pelosok negeri, masih banyak guru honorer yang mengajar puluhan tahun dengan gaji ratusan ribu rupiah per bulan.
Di perguruan tinggi, banyak dosen muda hidup pas-pasan meski dituntut menghasilkan publikasi internasional dan penelitian berkualitas.
Bagaimana mungkin mereka disebut beban, sementara kesejahteraannya jauh dari layak?
Ironinya, guru dan dosen yang bekerja di bawah tekanan itu masih juga dituntut menghadirkan lulusan unggul, mencetak prestasi, bahkan membawa nama baik institusi.
Masalah Sebenarnya
Kalau kualitas pendidikan belum optimal, itu bukan hanya soal guru atau dosen. Ada banyak faktor: kurikulum yang berubah-ubah, kebijakan yang tumpang tindih, fasilitas sekolah dan kampus yang minim, hingga kultur birokrasi yang lebih sibuk mengejar laporan ketimbang esensi belajar.
Menyalahkan guru dan dosen sebagai “beban” hanya akan menutupi akar persoalan sebenarnya. Yang dibutuhkan bukan stigma, melainkan dukungan nyata agar mereka mampu mengajar dengan baik.
Profesionalisme dan Harapan
Tentu, ada guru dan dosen yang bekerja sekadarnya, tidak kreatif, atau tidak mau berkembang.
Namun, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk melabeli seluruh profesi sebagai beban. Justru di sinilah peran negara dan masyarakat: mendorong profesionalisme, memberi pelatihan berkelanjutan, serta memastikan rekrutmen berjalan adil dan transparan.
Guru dan dosen yang kompeten bukan datang begitu saja. Mereka harus dibentuk, dibina, dan didukung. Tanpa itu, mustahil pendidikan Indonesia bisa naik kelas.
Mengubah Narasi
Kita perlu mengubah cara berpikir. Gaji guru dan dosen bukanlah pengeluaran yang sia-sia, melainkan investasi jangka panjang. Negara yang kuat adalah negara yang menghormati pendidiknya.
Finlandia, misalnya, menempatkan guru di posisi terhormat, dengan seleksi ketat dan penghargaan tinggi. Hasilnya, pendidikan mereka menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
Menghargai guru dan dosen berarti menghargai masa depan anak-anak kita.
Penutup
Menyebut guru dan dosen sebagai beban negara hanyalah narasi yang melemahkan. Beban sejati justru terletak pada ketidakmauan kita untuk memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh.
Guru dan dosen bukan beban. Mereka adalah penentu arah bangsa. Jika kita terus memandang mereka sebagai beban, maka sesungguhnya kitalah yang sedang membebani masa depan Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.