Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

PMK 37/2025 dan Tantangan Pajak Digital: Marketplace Menjadi Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22

Ini adalah perkembangan yang tidak hanya menyentuh ranah teknis fiskal, tetapi juga tekad negara untuk merangkul ekonomi digital secara lebih luas.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Wawan Mulyawan, SE., M.Si Mahasiswa Program Doktoral UIN Alauddin Makassar 

Oleh: Andi Wawan Mulyawan, SE., M.Si

Mahasiswa Program Doktoral UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dalam reformasi perpajakan digital dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025.

Peraturan ini menetapkan platform marketplace tertentu sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan barang oleh penjual yang menggunakan layanan mereka.

Ini adalah perkembangan yang tidak hanya menyentuh ranah teknis fiskal, tetapi juga tekad negara untuk merangkul ekonomi digital secara lebih luas.

Pilihan ini tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan reaksi bijaksana terhadap evolusi interaksi ekonomi, yang semakin luas dilakukan secara digital.

Awalnya dianggap tidak lebih dari perantara bagi penjual dan pembeli, marketplace telah menjadi persimpangan penting dalam sistem moneter digital Indonesia.

PMK itu sendiri menentukan bahwa PPh Pasal 22 ditetapkan sebesar 0,5 persen dari nilai transaksi penjualan sebelum dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tarif ini ditetapkan untuk penjual yang telah memiliki NPWP dan tidak dikecualikan sebagai Wajib Pajak kategori tertentu.

Sebagian orang mungkin menganggap angka ini kecil, tetapi dari sudut pandang kebijakan fiskal, ini adalah pendekatan ringan yang memperdalam basis pajak tanpa menghambat bisnis, terutama yang kecil, seperti UMKM.

Ini juga akan mendorong penjual di platform digital untuk menjadi wajib pajak aktif.

Marketplace sebagai pemungut, memainkan peran sentral. Mereka tidak hanya merupakan infrastruktur transaksi tetapi sekarang menjadi mitra strategis pemerintah dalam bergerak untuk secara sistematis meningkatkan kepatuhan dan pendapatan pajak.

Marketplace memiliki informasi transaksi yang real-time, terkini, dan akurat yang sebelumnya tidak dimiliki oleh otoritas pajak.

Titik pemungutan berada di marketplace, sehingga perpajakan itu sendiri menjadi lebih dekat dengan sumber ekonomi yang riil. Ini meminimalkan potensi entri pelaku usaha yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak akurat.

Penggabungan ini membuat sistem lebih transparan dan dengan menjanjikan pelacakan yang lebih luas, ini mengambil langkah lebih dekat ke tujuan membangun sistem fiskal digital berbasis data.

Namun, keberhasilan kebijakan tersebut tidak hanya bergantung pada sistem teknologi yang diterapkan tetapi juga pada penerimaan dan kesiapan para pemangku kepentingan. Pelaku bisnis, terutama UMKM, adalah raja aktor di sektor ekonomi digital.

Banyak dari mereka masih belum tahu apa itu hukum pajak. Oleh karena itu, PMK ini perlu didukung dengan program literasi fiskal kontekstual.

Ini bukan hanya tentang bagaimana memahami aturan, tetapi untuk mendidik tentang nilai dan manfaat menjadi bagian dari sistem fiskal formal.

Negara harus memposisikan mereka yang terlibat dalam UMKM sebagai aktor serius bukan sekadar objek pemungutan, dengan memberi mereka ruang untuk berdialog dengan otoritas, dukungan teknis, dan platform keluhan yang responsif.

Kekhawatiran atas kerepotan administratif di sisi marketplace juga harus diatasi dengan upaya bersama untuk menyelesaikan masalah.

Tidak cukup hanya menegakkan mandat, pemerintah juga harus menyediakan mekanisme untuk memfasilitasi pelaporan tepat waktu yang efisien, jaminan perlindungan hukum, dan jika memungkinkan terdapat insentif tertentu yang dapat meringankan beban perubahan sistem yang lain.

Sebaliknya, marketplace harus merangkul kepercayaan ini sebagai kesempatan untuk lebih membangun merek dan loyalitas mitra mereka.

Pemberitahuan nilai tambah pada pajak yang dipungut, pelaporan digital di balik layar untuk penjual, pemantauan status pemungutan dapat membuat ikatan lebih dekat antara platform dan pengguna setianya.

Aturan ini juga membuka pintu bagi otoritas pajak untuk lebih personal dalam berhubungan dengan wajib pajak digital.

Marketplace memiliki berbagai macam penjual yang berasal dari berbagai latar belakang dan bertransaksi pada pola yang bermacam-macam.

Dan dengan pendekatan data yang baik, otoritas dapat mengembangkan strategi komunikasi yang jauh lebih terarah.

Salah satu contohnya adalah perlakuan untuk vendor dengan pola transaksi musiman, jelas harus berbeda dari vendor permanen.

Dalam jangka panjang, jika ekosistem ini dapat dibangun secara bertahap, Indonesia akan dapat memiliki sistem pajak yang fleksibel sesuai dengan profil dan segmen wajib pajak, dan tidak hanya berdasarkan klasifikasi formal.

PMK 37/2025 juga merupakan langkah besar ke depan dalam mewujudkan prinsip keadilan pajak.

Ekonomi digital berkembang pesat namun pada saat yang sama menghadirkan 'sumber kontribusi yang hilang' dalam sistem pajak banyak pelaku bisnis yang tidak tercatat atau tidak terjangkau melalui metode pemungutan tradisional.

Regulasi satu arah ini memiliki efek samping, secara tidak langsung meratakan lapangan permainan fiskal antara pelaku ekonomi 'online' dan 'offline'. Ini semua adalah bagian dari perjalanan menuju sistem fiskal yang lebih adil dan inklusif.

Dengan semua bidang aktif, semua memikul beban dan beban pembangunan menjadi lebih ringan dan lebih merata.

Poin yang perlu ditekankan adalah bahwa peraturan ini bukanlah mekanisme pemaksaan, tetapi bagian integral dari menciptakan kepercayaan fiskal.

 Transparansi, partisipasi, dan operasi komunikatif adalah kunci keberhasilan kebijakan semacam itu dalam jangka panjang.

Pasar yang proaktif, pelaku bisnis yang terinformasi, dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang responsif adalah tiga pilar utama dalam membuat reformasi ini berhasil.

Dalam pengertian ini, PMK 37/2025 tidak hanya terbatas pada aliran masuk dan keluar uang secara teknis, tetapi lebih mewujudkan hubungan baru yang muncul antara negara dan warganya dalam batasan ekonomi digital yang mutakhir dan adil.

Dengan semua alasan di atas, dapat dikatakan bahwa PMK 37/2025 adalah langkah positif dan harus didukung.

Dan ini adalah bukti keseriusan negara dalam mencoba mengemas perpajakan digital secara inklusif, proporsional, dan berkelanjutan.

Pada saat marketplace, pelaku bisnis, dan otoritas pajak berinteraksi sebagai bagian dari "ekosistem" yang bekerja sama, maka perpajakan bergeser dari beban yang ditakuti menjadi kontribusi yang disadari.

Dan di sini, kepercayaan fiskal dibangun - bukan karena dipaksakan, tetapi dari pemahaman bahwa negara dan warganya berkembang dalam hubungan symbiosis yang saling menguatkan.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved