Opini
PBB Naik: Saatnya Warga Melawan Lewat Jalur Hukum
Setelah gelombang protes warga Kabupaten Pati, kini keresahan serupa merambat ke Sulawesi Selatan.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen di sejumlah daerah kembali menyulut kegelisahan publik.
Setelah gelombang protes warga Kabupaten Pati, kini keresahan serupa merambat ke Sulawesi Selatan.
Di Bone, Parepere, dan beberapa daerah lainnya, warga sepertinya mulai terlambat sadar bahwa tagihan pajak yang datang bukan lagi nominal yang bisa ditutup dengan uang simpanan tahunan, melainkan melonjak berlipat-lipat.
Fenomena ini menyingkap problem klasik dalam tata kelola pajak daerah, ketiadaan transparansi, lemahnya partisipasi publik, dan abainya pemerintah daerah pada asas keadilan dalam penarikan pajak.
Secara yuridis formal PBB termasuk dalam pajak daerah yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), sebagimana telah di ubah dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Dalam UU HKPD, pemerintah daerah diberikan kewenangan luas menetapkan tarif pajak melalui Peraturan Daerah (Perda), tentu dengan memperhatikan prinsip keadilan, kepatutan, serta kemampuan wajib pajak.
Penentuan besaran PBB dilakukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah daerah.
Namun, kenaikan 300 persen dalam satu tahun jelas menyalahi asas proporsionalitas. UU HKPD memang memberi ruang kepada daerah untuk mengoptimalkan pendapatan, tetapi tidak memberi kewenangan untuk membebani warga tanpa memperhitungkan daya pikul masyarakat.
Keadilan pajak seharusnya berpijak pada asas ability to pay, bahwa beban pajak harus sesuai dengan kemampuan ekonomi wajib pajak.
Kenaikan NJOP dan tarif PBB seharusnya tidak diputuskan secara sepihak. Setiap perubahan nilai objek pajak wajib didahului dengan kajian publik, uji kelayakan, serta sosialisasi yang memadai.
Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, warga menerima surat ketetapan pajak dengan nominal baru tanpa pernah diajak berdiskusi.
Lebih ironis lagi, pemerintah daerah kerap berlindung di balik alasan “penyesuaian nilai pasar tanah.” Padahal, lonjakan nilai tanah di atas kertas sering tidak sebanding dengan kemampuan warga membayar.
Banyak lahan di pedesaan yang memang memiliki nilai jual tinggi secara teoritis, tetapi pemiliknya tetap petani kecil dengan penghasilan terbatas.
Kondisi ini menyalahi prinsip asas kepastian hukum (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945) dan asas keadilan sosial (Pasal 33 UUD 1945).
Pemerintah daerah, dalam kerangka otonomi, memang berhak mencari sumber pendapatan. Tetapi kedaulatan fiskal itu tetap dibatasi oleh konstitusi dan prinsip good governance.
Menurut penulis, masyarakat sebenarnya tidak boleh pasrah dan berdiam diri. Mekanisme keberatan atas PBB telah diatur.
Ada tiga langkah hukum yang bisa ditempuh. Pertama, Keberatan Administratif, Berdasarkan Pasal 36 UU PBB (UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. UU HKPD 2022).
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan tertulis kepada Kepala Daerah atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) jika merasa nilai pajak tidak sesuai. Batas waktunya 3 bulan sejak SPPT diterima.
Kedua, Banding ke Pengadilan Pajak
Jika keberatan ditolak atau dianggap tidak memuaskan, warga dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Lembaga ini berwenang menguji kembali penetapan pajak daerah, termasuk soal NJOP dan tarif yang ditetapkan.
Ketiga, Uji Materi Perda Jika akar masalahnya terletak pada Perda PBB yang melahirkan kebijakan kenaikan tarif, warga dapat menggugat ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review. Pasal 31A UU Mahkamah Agung memberi ruang bagi masyarakat untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dengan demikian, jalur hukum sebenarnya tersedia, hanya saja jarang digunakan karena ketidaktahuan publik atau minimnya pendampingan hukum. Atau bisa jadi paham terkait jalur hukum tapi justru aksi demonstrasi dijadikan alternatif agar bisa disusupi dengan kepentingan politik oleh kelompok oposisi di daerah.
Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menahan diri dalam mengejar target PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan cara instan menaikkan PBB. Prinsip tax morality menuntut adanya kepatuhan sukarela yang hanya bisa tumbuh jika masyarakat percaya bahwa pajak digunakan untuk kepentingan mereka.
Selain itu DPRD sebagai wakil rakyat jangan hanya menjadi stempel kebijakan eksekutif. Setiap pembahasan Perda Pajak harus membuka ruang dengar pendapat, melibatkan asosiasi petani, nelayan, pedagang, hingga masyarakat adat yang tanahnya berstatus warisan.
Masyarakat perlu sadar bahwa jalur keberatan administratif maupun litigasi bisa ditempuh. Organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan LBH setempat perlu aktif memberi edukasi hukum dan advokasi kepada warga.
Kenaikan PBB yang ugal-ugalan berpotensi melahirkan ketidakadilan baru. Tanah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan bisa berubah menjadi beban, bahkan mendorong warga melepas lahan dengan harga murah. Ini adalah wajah lain dari penggusuran struktural bukan oleh alat berat, melainkan oleh kertas tagihan pajak.
Di tengah janji-janji pembangunan daerah, jangan sampai pemerintah daerah justru menggerogoti legitimasi sosialnya sendiri dengan kebijakan fiskal yang membebani rakyat. Pajak memang darah kehidupan negara, tetapi darah itu harus dialirkan dengan adil, bukan diisap secara paksa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.