Opini
Merdeka untuk Siapa? Ironi 80 Tahun Indonesia Berdaulat
80 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat kecil masih terhimpit. Kemerdekaan terasa hanya milik pejabat dan elit, bukan seluruh rakyat.
Jika kondisi ini dibiarkan, bangsa ini menuju krisis kepercayaan.
Kemerdekaan tanpa keadilan hanyalah ilusi.
Selama pejabat terus menghisap keringat rakyat, semangat perjuangan para pahlawan hanya diperingati dengan upacara kosong.
Indonesia tak boleh menjadi negeri di mana rakyat hanya diperlakukan sebagai objek pemerasan, sementara elit menikmati pesta pora atas nama demokrasi.
Apakah ini bukan bentuk baru kolonialisme? Bedanya, bangsa ini bukan dijajah asing, melainkan ditindas oleh anak bangsanya sendiri.
Para pahlawan rela mati demi membebaskan rakyat dari penjajahan, tapi belenggu itu masih ada—dengan wajah berbeda.
Ketidakadilan hari ini membuktikan kemerdekaan belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil.
Masih banyak petani menjual hasil panen dengan harga murah, buruh bergaji rendah tanpa jaminan hidup layak, pedagang kecil tunduk pada aturan dan pungutan mencekik.
Semua itu mencerminkan negara belum sungguh-sungguh hadir sebagai pelindung, melainkan lebih sering tampil sebagai penguasa yang menekan.
Jika kondisi ini berlanjut, kemerdekaan hanya menjadi slogan kosong setiap 17 Agustus.
Rakyat akan kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada pemerintah, tetapi juga pada makna perjuangan.
Tanpa kepercayaan rakyat, negara ini rapuh dan mudah digoyahkan oleh konflik internal maupun ancaman eksternal.
Kemerdekaan sejati hanya bertahan jika keadilan ditegakkan dan kesejahteraan dibagikan merata kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sudah saatnya bangsa ini menengok kembali amanah para pahlawan: kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari penindasan dalam bentuk apa pun.
Para pemimpin harus ingat jabatan adalah titipan rakyat, bukan tiket memperkaya diri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.