Opini
Menakar Makna Merdeka di Bawah Tiang Bendera
Pesan Bung Karno bahwa perjuangan generasi selanjutnya akan lebih sulit dibandingkan dengan perjuangan terdahulu.
Sri Ulfanita
(Pegiat Pustaka RumPut, Founder English Corner, Pengajar di Lembaga Bahasa dan Pengembangan Karakter Universitas Al Asyariah Mandar)
TRIBUN-TIMUR.COM- Saban tanggal 17 Agustus, euforia perayaan kemerdekaan Republik Indonesia menggema di seluruh penjuru negeri. Bendera Merah Putih dikeluarkan dari lemari untuk dikibarkan dengan megah di pekarangan rumah, di setiap sudut jalan, di halaman gedung-gedung pemerintahan. Seolah menjadi penanda dari pencapaian kolektif yang agung. Namun, di balik seremonial tahunan itu, sebuah pertanyaan yang mengendap di kedalaman benak sebagian masyarakat kembali mengusik, terutama bagi mereka yang memang mencintai negeri ini dengan sepenuh jiwa; benarkah negeri ini telah mencapai kemerdekaan yang sejati?
Ataukah selama ini kita hanya hidup dalam ilusi tentang kemerdekaan itu sendiri? Bagi banyak anak negeri, narasi kemerdekaan dari penjajahan fisik terasa begitu usang, digantikan oleh realitas keseharian yang penuh tantangan. Mereka merasa terbelenggu oleh "penjajahan" dalam bentuk baru, yakni ketidaksetaraan struktural yang menghambat kebebasan dan kesejahteraan.
Di benak kita terekam jelas pesan Bung Karno bahwa perjuangan generasi selanjutnya akan lebih sulit dibandingkan dengan perjuangan terdahulu. Pejuang kemerdekaan terdahulu memang harus membasuh pertiwi dengan peluh dan darah untuk mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan.
Baca juga: Bendera One Piece, Insiden dan Kemerdekaan
Sementara saat ini, masing-masing dari kita berjuang di banyak lini kehidupan. Dari pesan Bung Karno itu, kita mafhum bahwa kemerdekaan substansial bukanlah sebatas terbebasnya Indonesia dari dominasi kolonial, melainkan kemerdekaan dari belenggu ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan fiskal, dan ketidakadilan hukum. Ketiga pilar ketidakadilan ini membentuk sebuah sistem yang secara struktural menggerogoti janji kemerdekaan, menciptakan jurang yang terjal antara narasi nasional yang optimistis dan pengalaman hidup rakyat yang penuh perjuangan.
Dalam konteks ini, fenomena unik berkibarnya bendera One Piece di awal Agustus menjadi penanda pergeseran bahasa perlawanan. Simbol ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan manifestasi dari frustrasi yang mendalam dan pencarian identitas baru dalam perjuangan rakyat.
Pertumbuhan Ekonomi Tidak Merata
Narasi pembangunan sering kali dibingkai dalam data makroekonomi yang mengesankan. Kementerian Keuangan mencatat perekonomian Indonesia tumbuh 5,12 persen (year on year) pada triwulan II tahun 2025, didukung oleh konsumsi, investasi, dan ekspor.
Jika dilihat sekilas, data ini mengindikasikan momentum pertumbuhan yang kuat di tengah ketidakpastian global. Namun, jika dianalisis lebih mendalam, narasi ini beresonansi secara sumbang dengan realitas di tingkat masyarakat bawah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Garis Kemiskinan di Indonesia pada Maret 2025 telah meningkat menjadi Rp609.160 per kapita per bulan, naik 2,34 % dibandingkan pada September 2024 lalu. Angka ini menjadi standar minimal pengeluaran agar seseorang tidak dikategorikan miskin. Kenaikan Garis Kemiskinan ini diperkuat oleh data inflasi yang menunjukkan adanya tekanan terhadap daya beli masyarakat.
Pada Juli 2025, tingkat inflasi tahunan meningkat menjadi 2,37 % , yang didorong terutama oleh kenaikan harga makanan sebesar 3,75?ngan laju terbesar dalam 13 bulan terakhir. Fakta ini sangat krusial, mengingat komposisi Garis Kemiskinan didominasi oleh pengeluaran makanan sebesar 74,58 % , dengan komoditas beras (21,06 % ) dan rokok kretek filter (10,72 % ) menjadi penyumbang terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan tidak secara efektif melindungi masyarakat miskin dari gempuran kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketimpangan struktural juga tercermin dari tingginya angka pengangguran di kalangan pemuda. Berdasarkan data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk usia muda bertahan di angka 16,16 % pada Februari 2025, jauh melampaui TPT nasional yang sebesar 4,76 % . Di wilayah perkotaan, TPT bahkan mencapai 5,73 % . Kesenjangan ini menciptakan disonansi yang signifikan di mana pemerintah memproklamirkan pertumbuhan ekonomi yang solid, namun nyatanya, jutaan anak muda yang seharusnya menjadi tulang punggung bangsa justru terpinggirkan dari kesempatan kerja.
Kondisi ini menumbuhkan rasa frustrasi yang mendalam dan mendorong munculnya pertanyaan kritis tentang keadilan sistem. Ketika mereka melihat pertumbuhan pesat namun tidak merasakan manfaatnya, mereka menjadi angkatan kerja yang "siap protes”, karena tidak banyak hal yang bisa mereka pertaruhkan dibandingkan dengan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Bonus demografi yang santer digaungkan akankah menjadi peluang emas atau justru menjadi ancaman yang terselubung.
Beban Pajak yang Berat di Pundak Rakyat Namun Ringan di Kantong Korporasi
Kesenjangan ekonomi makin diperparah dengan sistem fiskal yang dinilai tidak berkeadilan. Kasus kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250 % di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, adalah contoh yang paling nyata. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Bupati Pati Nomor 17 Tahun 2025 akhirnya memicu gelombang penolakan keras dari warga.
Bupati Pati pun mengungkap bahwa kenaikan itu diperlukan sebab tarif PBB tidak naik selama 14 tahun, dan pemerintah daerah membutuhkan dana untuk membiayai proyek infrastruktur seperti pembenahan RSUD. Aksi protes yang awalnya menuntut pembatalan kenaikan PBB, menyulut rasa kecewa rakyat dan kian berkobar dengan tuntutan Bupati Pati harus mundur dari jabatan yang diembannya setelah ia dituduh mengeluarkan pernyataan yang menantang rakyat dan menuduh aksi mereka ditunggangi kepentingan politik.
Perjuangan warga Pati dalam menanggung beban pajak ini menjadi ironis ketika dibandingkan dengan potensi kerugian negara dari sektor yang seharusnya menjadi kontributor terbesar. Studi Bank Dunia yang berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang diterbitkan pada Maret 2025, mengungkapkan bahwa selama periode 2016-2021, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp160 triliun merupakan selisih antara Pajak Penghasilan (PPh) Korporasi yang seharusnya dibayarkan dengan yang benar-benar diterima. Bukan hanya itu, data dari Tax Justice Network juga memprediksikan kerugian pajak dari penghindaran oleh perusahaan multinasional di Indonesia mencapai 2,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp32 triliun pada tahun 2021.
Ketimpangan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada perusahaan besar. Misalnya, pemerintah memberikan diskon tarif PPh badan sebesar 3?gi perusahaan terbuka. Pada 2021, pemerintah bahkan menganggarkan Rp. 62,83 triliun untuk insentif pajak sebagai bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kontradiksi dalam kebijakan fiskal ini sangat jelas; di satu sisi, pemerintah daerah menaikkan pajak properti rakyat kecil hingga 250 % untuk menutupi kekurangan anggaran, sementara di sisi lain, pemerintah pusat kehilangan ratusan triliun rupiah dari penghindaran pajak korporasi dan memberikan insentif pajak kepada perusahaan besar.
Hal ini menciptakan narasi ketidakadilan yang kuat, di mana rakyat yang paling rentan justru yang paling dibebani, sementara sektor yang paling makmur mendapatkan perlakuan istimewa. Kebijakan ini secara struktural menguntungkan segelintir elite dan membebani masyarakat luas, sebuah pilihan politik yang secara fundamental menantang prinsip keadilan.
Pisau Hukum Tajam Mengiris Rakyat
Janji kemerdekaan tidak akan pernah terwujud tanpa supremasi hukum yang adil. Namun, di Indonesia, muncul sebuah stigma bahwa hukum ibarat pisau yang "tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Peribahasa ini terbukti dalam berbagai kasus yang menunjukkan perlakuan hukum yang diskriminatif.
Dalam beberapa kasus, sistem peradilan terlihat brutal dan tanpa ampun terhadap rakyat jelata. Menelisik kasus Nenek Asyani, seorang perempuan miskin yang divonis satu tahun penjara dan denda Rp. 500 juta karena dituduh mencuri tujuh batang kayu jati. Kasus serupa juga menimpa Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao, serta kasus AAL yang dipukuli oleh oknum polisi karena mencuri sandal jepit dan tetap dibawa ke pengadilan. Kasus-kasus ini menjadi bukti bagaimana sistem hukum bekerja dengan "efisien" dan tanpa toleransi terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Di sisi lain, perlakuan hukum yang sangat lunak sering kali diberikan kepada para elite yang terlibat dalam kejahatan besar, terutama korupsi. Kasus korupsi tata niaga komoditas timah, misalnya, yang merugikan negara triliunan rupiah, berakhir dengan vonis yang jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Kasus Harvey Moeis yang dituntut 12 tahun penjara, hanya divonis 6 tahun 6 bulan oleh majelis hakim. Putusan ini dinilai "menodai semangat pemberantasan korupsi" dan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik tentang siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus tersebut. Vonis ringan juga terjadi pada terdakwa kasus korupsi APD COVID, yang memicu keheranan dari mantan penyidik KPK karena dinilai "di luar nalar dan logika".
Pola perlakuan hukum yang timpang ini bukan sekadar anomali, melainkan sinyal yang kuat dari sistem itu sendiri bahwa keadilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan atau uang. Hal ini selaras dengan analisis sosiologi hukum yang menunjukkan bahwa ketidakadilan struktural diperkuat oleh pandangan elitisme dan "pengecualian yang diperlukan" (necessary exception).
Perbedaan perlakuan ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan mendorong masyarakat pada sikap apatis terhadap politik. Rasa frustrasi dan putus asa ini mendorong rakyat untuk mencari keadilan dengan jalan lain, termasuk melalui aksi protes.
Antara Imajinasi dan Aspirasi Rakyat
Dalam konteks ketidakadilan yang merata; yang terasa mulai dari ekonomi, pajak, hingga hukum, muncul sebuah fenomena budaya yang menarik: penggunaan Bendera One Piece sebagai simbol kritik rakyat. Fenomena ini pertama kali mencuat di awal Agustus ketika masyarakat beramai-ramai mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dan bertopi jerami itu di tempat-tempat umum, di halaman rumah, di media sosial, bahkan menjadi penghias kendaraan. Pemerintah yang anti kritik akhirnya angkat suara dan menganggap bendera Jolly Roger sebagai upaya provokasi yang sistematis dan potensi makar.
Dalam aksi protes di Pati, bendera ini kembali terlihat. Para nakama (sebutan untuk kru atau teman dalam serial One Piece) turun ke jalan melawan "kekuasaan arogan" yang dianggap tirani oleh mereka.
Bendera ini memiliki makna simbolis yang sangat dalam. Di dalam serial manga dan anime tersebut, bendera adalah simbol identitas dan komitmen para bajak laut pada sebuah visi kebebasan. Dalam konteks aksi protes di Pati, bendera ini berfungsi sebagai simbol solidaritas dan semangat pantang menyerah. Warga yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari petani yang menolak kenaikan PBB hingga eks honorer yang diberhentikan secara sepihak, bersatu di bawah satu bendera untuk melawan kebijakan yang dianggap tidak adil.
Bendera One Piece menjadi metafora yang sempurna untuk perjuangan mereka di mana sekelompok individu yang dianggap "bajak laut" atau anomali oleh sistem, namun bersatu untuk mengejar visi kebebasan dan keadilan mereka, melawan sebuah "Pemerintah Dunia" yang korup.
Pilihan simbol ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam bahasa protes yang digemakan masyarakat. Simbol-simbol perlawanan tradisional mungkin dianggap tidak lagi relevan atau bahkan telah terkontaminasi oleh kepentingan politik. Generasi muda, yang merasa terpinggirkan dari manfaat pembangunan dan keadilan, menemukan representasi perjuangan mereka dalam budaya populer yang mereka cintai.
Bendera One Piece secara efektif mengkomunikasikan bahwa perjuangan ini bersifat universal; melawan tirani dan ketidakadilan, bukan sekadar agenda politik yang sempit.
Merah Putih dan Janji yang Belum Dipenuhi
Kemerdekaan, dalam pengertian substansial, adalah sebuah janji yang belum sepenuhnya terpenuhi bagi semua lapisan masyarakat. Belenggu kolonialisme fisik memang telah terputus, namun belenggu "kemerdekaan yang tak sempurna" dalam bentuk ketidakadilan struktural masih membelenggu sebagian besar rakyat.
Perayaan 17 Agustus seharusnya tidak hanya menjadi ritual seremonial belaka, tetapi juga menjadi momentum refleksi kolektif untuk meninjau kembali janji-janji kemerdekaan. Makna merdeka harus digeser dari sebatas kemerdekaan dari penjajah asing, menuju perjuangan yang berkelanjutan untuk mencapai kemerdekaan dari segala bentuk ketidakadilan di tanah pertiwi.
Selama pertumbuhan ekonomi belum merambah setiap sudut negeri ini, selama beban pajak masih timpang antara rakyat dan korporasi, dan selama hukum masih menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, maka perjuangan untuk merdeka masih jauh dari kata usai. Bendera One Piece yang berkibar di tanah pertiwi adalah pengingat yang kuat dan puitis bahwa "Indonesia, Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku!" masih menjadi janji yang harus diperjuangkan oleh para nakama sejati di negeri ini, agar kelak generasi penerus bangsa ini tak lagi menakar makna merdeka di bawah tiang bendara.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.