HMI Cabang Makassar
Putusan MK dan Wacana Pilkada Lewat DPRD Dibedah di Dialog Kebangsaan HMI Cabang Makassar
Pimpinan DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem tiba-tiba ngopi bersama di Warung Kopi Aspirasi, Jalan AP Pettarani, Sabtu (9/8/2025).
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Pimpinan DPR RI tiba-tiba ngopi bersama di Warung Kopi Aspirasi, Jalan AP Pettarani, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (9/8/2025).
Mereka adalah Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fauzi H Amro, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, Ketua Kajian Ketatanegaraan MPR RI sekaligus dosen Filsafat UI, Taufik Basari.
Mereka adalah kader HMI.
“Saya di sini sebagai tuan rumah. Alangkah ruginya kita ketika kita tak meminta masukan dari Kang Saan Mustopa,” kata Anggota DPR RI, Rudianto Lallo dalam sambutannya.
Selain itu, hadir juga wakil ketua Badan Anggaran DPR RI Syarief Abdullah Alkadrie, ketua kajian ketatanegaraan MPR RI sekaligus dosen Filsafat UI Taufik Basari, Kapoksi Fraksi Nasdem Komisi II DPR RI Ujang Bey.
Pelaksana Dialog Kebangsaan dengan tema “Menakar Dampak Domino Efek Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah” adalah HMI Cabang Makassar.
Hadir langsung ketua HMI Cabang Makassar, Sarah Agussalim.
Baca juga: Makassar Kota Pemberani, 4 Politisi NasDem Alumni HMI Bongkar Tantangan Aktivis Zaman Now

Mantan kader HMI turun gunung bicara blak-blakan soal tantangan aktivis masa kini.
Bukan sekadar nostalgia, forum bertajuk Dialog Kebangsaan itu berubah jadi ajang memacu semangat para kader.
Dari soal literasi yang lemah, mental instan, sampai tantangan kemandirian finansial di dunia politik, semua dibedah tuntas.
Saan Mustopa membahas panjang soal peran HMI dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Saan Mustopa adalah mantan ketua bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Kepemudaan PB HMI.
"Dari awal saya di Cabang, adalah ketua bidang PTKP, kemudian naik ke Badko juga PTKP. Tak hanya itu, di PB juga jadi ketua bidang PTKP. Jadi karier saya di HMI adalah PTKP. Saya selalu mau di sini karena kita bisa nongkrong dan bergaul," katanya disambut tawa.
Menurutnya, Islam dan Keindonesiaan adalah satu nafas dalam perjalanan bangsa ini.
Keislaman dan Keindonesiaan" merujuk pada pemahaman dan penerapan nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ini mencakup bagaimana ajaran Islam membentuk identitas, budaya, dan praktik kehidupan masyarakat Indonesia, serta bagaimana Islam berinteraksi dengan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila.
“HMI Makassar itu paling dinamis. Jadi kalau berbicara HMI dan Indonesia adalah senafas. Bukan saling menegasikan,” kata koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni HMI ini.
Saan Mustafa, menegaskan bahwa meski materi pelatihan HMI sama di semua cabang, setiap era punya tantangannya sendiri.
“Dulu banyak ruang demo, banyak isu nasional besar. Sekarang tantangannya beda, tapi semangat intelektual jangan padam. Dari kampung bisa jadi kader nasional, itu berkat HMI,” kata Saan.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqi, langsung menohok soal kebiasaan aktivis zaman sekarang.
“Demo-nya kuat, bacaannya lemah. Padahal HMI itu dibentuk untuk melahirkan insan akademik," kata Rifqi.
"Kalau intelektualnya lemah, kita tidak akan jadi engineer sosial yang sempurna,” ujarnya, sambil mengingatkan pentingnya mandiri secara ekonomi," katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H. Amro, ikut berbagi kisah ‘kerasnya’ kongres HMI di masa lalu.
“Dulu kongres itu panas, siapa menang yang berkuasa. Kalau kalah menunggu giliran berkuasa. Jadi aktivis itu jangan kelamaan berproses, cepat matang, cepat siap. HMI itu banyak memberi teman, jaringan, dan pelajaran hidup,” kata Fauzi.
Ia menyampaikan, kader HMI harus membangun kemandirian ekonomi.
“Sehingga, kita tak bergantung kepada siapa-siapa. Tidak selamanya jadi aktivis atau justru LSM,” katanya.
Ketua Kajian Ketatanegaraan MPR RI sekaligus dosen Filsafat UI, Taufik Basari, berbicara di forum dengan pujian sekaligus peringatan.
“Makassar itu kota pemberani. Keberanian ini jangan sampai hilang," kata Taufik.
Ia mengenang tahun 1998, Makassar adalah salah satu pusat gerakan mahasiswa yang luar biasa.
"Kekritisan ini harus terus dirawat," kata Taufik.
Kontroversi Putusan MK
Salah satu kader HMI mempertanyakan langsung dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah.
Mereka pun menganggap putusan ini membuat deadlock konstitusi. Putusan MK itu sifatnya final dan mengikat.
Pada sisi lain, putusan MK ini menjadi bertentangan dengan undang-undang dasar.
Pada 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota) mulai tahun 2029. Dengan demikian, skema pemilu serentak “lima kotak” tidak lagi berlaku.
MK menilai, pemisahan ini diperlukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, meningkatkan kualitas demokrasi, serta mengurangi beban kerja penyelenggara dan partai politik dalam menghadapi jadwal kampanye yang terlalu padat.
MK juga menyatakan bahwa pemisahan akan mencegah isu-isu nasional menenggelamkan agenda pembangunan daerah dan memberi ruang bagi pemilih serta partai politik untuk menyiapkan kader secara lebih matang.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan beberapa catatan sehingga, putusan MK itu dianggap keliru.
Rifqinizamy menegaskan bahwa apabila putusan MK dijalankan dalam bentuk revisi Undang-Undang Pemilu, hal tersebut bisa melanggar konstitusi.
Pasalnya, Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu—untuk Presiden, DPR, DPD, dan DPRD—harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Jeda waktu minimal 2 hingga 2,5 tahun yang diajukan MK bisa membuat siklus tersebut menjadi 7 hingga 7,5 tahun yang jelas bertentangan dengan konstitusi.
"Jika kita mengikuti putusan MK dengan jeda antara Pemilu Nasional dan Lokal minimal dua tahun hingga dua setengah tahun, maka siklus pemilu tidak lagi lima tahun sekali, melainkan bisa menjadi tujuh hingga tujuh setengah tahun. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi," katanya.
Rifqinizamy menegur bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah substansi konstitusi.
Seharusnya, MK hanya berwenang menguji norma UU terhadap UUD, bukan menciptakan tafsir baru yang berdampak mengubah norma konstitusi.
Menurut Rifqinizamy, putusan ini terlihat kontradiktif dengan keputusan MK sebelumnya (Nomor 55/PUU-XVII/2019), yang memberikan keleluasaan kepada pembentuk UU untuk memilih satu dari enam model pemilu serentak yang diatur.
“Putusan MK kali ini terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya, terutama Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu. Tapi sekarang, MK justru menetapkan sendiri satu model, yaitu pemilu pusat dan pemilu lokal yang dipisahkan,” ungkapnya.
Kini, MK justru menetapkan satu model—pemilu pusat dan lokal dipisah—tanpa memberi ruang kepada DPR sebagai pembentuk UU.
Rifqinizamy juga menyatakan bahwa Putusan MK ini berpotensi menurunkan martabat kewenangan institusi tersebut. MK seharusnya hanya menjadi penguji konstitusionalitas UU, bukan "mengambil alih tugas" DPR dan Presiden dalam membentuk norma hukum baru
Dia mengatakan seharusnya tugas MK hanya sampai di titik menilai suatu norma undang-undang saja soal apakah itu konstitusional atau inkonstitusional, sehingga tidak sampai membentuk suatu norma tertentu.
“Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang seharusnya hanya menilai satu norma undang-undang terhadap undang-undang dasar apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi mahkamah yang membentuk norma,” katanya.
Padahal, ujarnya, DPR RI lah yang sebenarnya memiliki kewenangan sebagai pembentuk undang-undang atau norma, karena memiliki konteks open legal policy. “Kemudian [MK] mengambil alih dalam tanda kutip tugas konstitusional kami, Presiden dan DPR, untuk membentuk norma,” ucapnya. Sebab itu, legislator NasDem ini menegaskan bahwa sebagai anggota Fraksi NasDem dirinya ingin menegakkan prinsip-prinsip konstitusionalitas itu.
Lebih lanjut, Rifqi pun menekankan sikap partai NasDem terhadap putusan MK ini adalah bila ditindaklanjuti maka itu adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri.
Sepemahamannya pula, imbuh dia, dalam konteks teori hukum data negara dan hukum konstitusi putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Sebab itu, dia memandang bila ada judicial review (JR) lagi, maka putusan MK itu sifatnya jadi tidak final dan mengikat.
“Dan itulah yang sekarang menjadi kritik kami terhadap MK. Satu objek yang sama itu bisa diputus berkali-kali dengan putusan yang berbeda,” ungkapnya.
Sementara itu, Taufik Basari membahas soal wacana pemilihan langsung atau pemilihan lewat DPRD untuk kepala daerah mendatang.
Ia menambahkan dalam undang-undang dasar 1945 pada Pasal 18 tentang pemerintahan daerah tak membahas soal model pemilihan.
Pada Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan ide bahwa untuk mengurangi biaya tinggi pemilihan umum, kepala daerah bisa dipilih oleh DPRD seperti sistem di Malaysia atau Singapura.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan setuju dan menyebut pilihan seperti DPRD juga merupakan bentuk demokrasi perwakilan
Anggota DPR RI periode 2019-2024, Taufik Basari pun mengatakan Asbabul Nuzul soal model Pilkada ini adalah disesuaikan dengan zaman.
Pada pembahasan UUD 1945, istilah asbabul nuzul sering dipakai secara kiasan untuk menyebut latar belakang historis atau alasan munculnya suatu pasal atau kebijakan.
"Kan isinya dari pasal ini adalah “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
kata kuncinya dipilih secara demokratis, tidak spesifik harus langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Pilihan modelnya diserahkan pada pembentuk UU," katanya menambahkan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.