Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Perintis dan Pewaris: Garis Sensitif Tak Kasat Mata

Ia bicara soal bersusah-payah, mencari jalan sendiri, sebuah narasi kepahlawanan mini yang menggemaskan.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Edil Wijaya Nur Guru BK SMAN 2 Makassar 

Oleh: Edil Wijaya Nur

Guru BK SMAN 2 Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Sebuah video viral. Seorang bocah sembilan tahun, Ryu Kintaro, dengan mata berbinar dan penuh semangat, berbagi tentang betapa "seru"-nya menjadi perintis usaha.

Ia bicara soal bersusah-payah, mencari jalan sendiri, sebuah narasi kepahlawanan mini yang menggemaskan.

Namun, di kolom komentar, udara terasa lebih berat. Ratusan orang dewasa, para perintis sungguhan, merasa ada yang sumbang.

Mereka tidak marah pada si anak, tapi pada sebuah realitas yang tak terucap: Ryu, dengan segala bakatnya, punya sesuatu yang tidak mereka miliki—sebuah jaring pengaman raksasa.

Fenomena ini, lebih dari sekadar drama media sosial, adalah cermin besar bagi konsepsi kita tentang sukses, kerja keras, dan privilese di abad ke-21. Ini adalah gesekan abadi antara Sang Perintis dan Sang Pewaris.

Jika kita meminjam kacamata sejarawan Yuval Noah Harari, kita akan melihat bahwa ini bukanlah cerita baru.

Ini adalah versi modern dari struktur sosial yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Di abad pertengahan, masyarakat terbagi jelas antara kaum bangsawan dan rakyat jelata.

Seorang anak bangsawan mewarisi tanah, kastil, dan status. Tugasnya adalah mengelola dan—jika cakap—memperluas warisan itu.

Kegagalan dalam satu pertempuran tidak lantas membuatnya menjadi gelandangan. Di sisi lain, seorang anak petani atau pengrajin memulai dengan nihil.

Ia hanya punya tenaga dan keahlian. Satu musim kemarau panjang, satu kegagalan panen, bisa berarti akhir dari segalanya.

Apakah zaman sudah berubah? Tentu. Namun, psikologi dasarnya tetap sama. "Tanah warisan" hari ini telah beralih rupa menjadi modal, jaringan bisnis orang tua, dan reputasi keluarga. Sang Pewaris modern memulai dari garis start yang jauh di depan.

Bagi mereka, risiko adalah sebuah eksperimen. "Gagal" adalah data, sebuah lesson learned yang mahal namun terbayar. Ini adalah R&D (Research & Development) pribadi yang didanai oleh jaring pengaman.

Bagi Sang Perintis, risiko adalah pertaruhan eksistensial. Kegagalan berarti tumpukan utang dan tekanan psikologis yang bisa meremukkan mental.

Menurut data dari U.S. Bureau of Labor Statistics (BLS), sebuah rujukan global dalam data ketenagakerjaan, sekitar 50 persen dari semua bisnis baru gagal bertahan melewati tahun kelima mereka.

Bayangkan tekanan di balik angka ini bagi mereka yang tidak punya "rencana B". Inilah mengapa ucapan "merintis itu seru" dari seseorang yang punya backup tak terbatas terasa begitu menohok. Kebenaran itu menyakitkan karena tidak utuh.

Namun, di sinilah opini kita harus berbelok dari sekadar menyalahkan takdir. Tidak ada yang salah menjadi Pewaris, dan tidak ada jaminan sukses bagi mereka.

Sejarah bisnis dipenuhi kisah "generasi ketiga yang menghancurkan", bukti bahwa warisan tidak otomatis mentransfer kompetensi. Sebaliknya, banyak perintis hebat lahir dari ketiadaan. Justru karena tidak punya apa-apa, mereka menjadi sangat kreatif dan lapar.

Dari konsep tersebut kita bisa pahami bahwa arena persaingan hari ini telah mencairkan batas kaku antara Perintis dan Pewaris dari segi ide dan konsep, batas-batas itu kini meruncing pada bagian modal sebagai jaring pengaman.

Oleh sebab itu, bagi kita para perintis, kunci untuk selamat bukan lagi sekadar "kerja keras", melainkan kesehatan mental dalam berwirausaha.

Ini menuntut adanya mental bertumbuh (growth mindset) untuk memandang kegagalan sebagai umpan balik; kemampuan menerima (acceptance) realitas pasar; kesiapan untuk berkompromi pada visi awal; dan yang terpenting, kemampuan berkolaborasi untuk membangun jaring pengaman sendiri melalui kemitraan.

Maka, mari kita letakkan kembali kontroversi Ryu Kintaro pada tempatnya. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap kisah sukses, ada konteks dan privilese.

Arena wirausaha pada akhirnya tak bertanya, "Siapa orang tuamu?". Ia bertanya, "Masalah apa yang bisa kau selesaikan untukku?". 

Namun, kita sebagai manusia harus cukup bijak untuk mengakui bahwa bagi sebagian orang, perjalanan untuk menemukan jawaban itu jauh lebih terjal, sunyi, dan tanpa jaring pengaman.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved