Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Jejak Pahlawan Syekh Yusuf al-Makassariy

Pengamal tarekatnya tidak saja di negara mayoritas berkulit hitam dan di Nusantara tetapi meluas ke negara-negara jazirah Arab dan India

|
Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
RUBRIK OPINI - Mahmud Suyuti, Katib ‘Am Jam’iyah Khalwatiyah. Mahmud Suyuti merupakan salah satu penulis rubrik Opini Tribun Timur. 

Oleh: Mahmud Suyuti

Katib Am Jamiyah Khalwatiyah

TRIBUN-TIMUR.COM - SYEKH Yusuf merupakan sufi kharismatik sekaligus pahlawan Nasional pada dua negara.

Di Indonesia dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Nomor 071/ TK/1995 dan juga sebagai pahlawan Nasional di Afrika Selatan karena jasa-jasanya sebagai peletak dasar keislaman yang perjuangannya selama berada di negara tersebut melatarbelakangi perkembangan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf.

Pengamal tarekatnya tidak saja di negara mayoritas berkulit hitam dan di Nusantara tetapi meluas ke negara-negara jazirah Arab dan India bahkan menembus batas-batas negeri dipelbagai penjuru dunia.

Karena itu, Syekh Yusuf yang bernama lengkap Syekh Sayyid Muhammad Yusuf Abul Mahasin Taj al-Khalwatiy al-Bantani al-Makassariy al-Syafiiy Tuan Salamaka Rahimahumullah, sangat dihormati dan disegani bukan saja di Indonesia, tapi sampai di dunia internasional.

Biografi dan Ijazah Tarekat

Syekh Yusuf Syekh Yusuf lahir di Istana Kerajaan Gowa 03 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dan wafat di Cape Town 23 Mei 1699 M/22 Dzulqaidah 1110 H dalam usia 73 tahun
berdasarkan perhitungan tahun Masehi.

Syekh Yusuf dalam usia tujuh tahun telah khatam hafal al-Qur’an. Usia sembilan tahun belajar dasar-dasar ilmu tasawuf, ilmu nahwu, ilmu sharaf dan mantiq di hadapan
Syekh Sayyid Alwi Assegaf Tuan Karamah bin Abdullah bin Ahmad Syarif al-Allamah al-Thahir Assegaf.

Tuan Karamah kemudian merekomendasikan Syekh Yusuf belajar ke Mekah dengan modal sepucuk  surat untuk disampaikan kepada mufti Haramain dengan catatan sebelum
berangkat agar singgah dulu belajar tasawuf pada Syekh Sayyid Jalaluddin al-Aidid di Cikoang.

Tahun 1641 atau saat dalam usianya 15 tahun, dari Banten Syekh Yusuf ke bertolak ke Tanah Suci dan singgah di Aceh menerima ijazah Tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin
al-Raniri.

Syekh Yusuf tiba di Mekah tahun 1644 M, bertepatan dalam usianya 18 tahun dam memperdalam ilmu tasawufnya di hadapan Syekh Ibrahim bin Syihabuddin al-Kurdi
al-Kaurani (1615-1690 M).

Dari gurunya ini, Syekh Yusuf menerima ijazah baiat tarekat Syattariyah.

Selanjutnya Syekh Yusuf ke Yaman Hadramaut sebagai pusat berkumpulnya para waliyullah.

Di sini Syekh Yusuf belajar tarekat kepada al-Syekh Sayyid Hasan Ali bin Yahya al-Zabidiy (w. 1084/1673) dan al-Syekh Yusuf Abu Abdullah Muhammad Abd al-Baqi al-Mizjaji (w. 1074).

Syekh Yusuf kemudian ke negeri Syam (Syria) dan ke Damaskus berguru seorang Syekh yang masyhur, al-Syekh Abu al-Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi dan sinilah Syekh Yusuf menerima ijazah Tarekat Khalwatiyah sekaligus mendapat gelar Taj al-Khalwatiy.

Pahlawan Nasional

Karena panggilan hati nurani untuk ikut berjuang demi hubbul wathan, maka Syekh Yusuf kembali Indonesia tepatnya di Banten yang saat itu Pangeran Surya, Sultan Ageng
Tirtayasa (1631-1683 M) menduduki tahta kerajaan di kesultanan Banten, berkuasa sejak tahun 1651-1682 M.

Demi memperjuangkan negara dan bangsa ini, Syekh Yusuf lebih lama menetap di Banten, yakni selama 26 tahun sejak 1654-1680.

Di sinilah Syekh Yusuf diangkat sebagai mufti kerajaan sekaligus mengajarkan tarekatnya, sehingga Sultan Ageng sendiri dan keluarga besar kerajaan menganut Tarekat Khalwatiyah.

Syekh Yusuf sebagai mufti, sufi , dan waliyullah selanjutnya masyhur pula sebagai pahlawan karena di tahun 1682 beliau diangkat menjadi panglima kerajaan Ageng Tirtayasa
melawan kompeni.

Dengan kesatrianya, Syekh Yusuf bersama pasukan yang mengikutinya berjuang bergerilya menyerang kubu-kubu pertahanan kompeni.

Namun pada 14 Desember 1683 Syekh Yusuf ditangkap pihak kompeni dan dipenjara di Batavia.

Karena kekhawatiran kompeni, maka selanjutnya pada 12 September 1684 Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon, Srilangka.

Di tempat pengasingan tersebut, di Ceylon, Syekh Yusuf tetap berjuang dan mengajarkan tarekatnya.

Akibat gerakan Syekh Yusuf yang dikhawatirkan itu, maka pada 7 Juli 1693 pemerintah kolonial Belanda, memutuskan untuk segera memindahkan pengasingan Syekh Yusuf,
keluarga dan pengikutnya dari Ceylon ke Cape Town, daerah terpencil di Afrika Selatan.

Di tempat pengasingan terakhirnya di Cape Town inilah Syekh Yusuf wafat, namun sebelum beliau wafat tetap mampu memperlihatkan kehebatan dan kharismatinya menarik
banyak pengikut, sehingga Syekh Yusuf tersohor di Afrika Selatan sebagai pembawa ajaran Islam pertama dan sebagai pahlawan sejati.

Paham Kesetaraan di Bumi

Jejak pahlawan Syekh Yusuf al-Makassariy dalam Menyebarkan Kesetaraan di Bumi menjadi topik utama pada kegiatan Dialog Budaya yang dilaksanakan kemarin (kamis/24/06) di
Aula Harian Tribun Timur Makassar.

Dialog dengan menelusuri faham kesetaraan di Bumi menghadirkan dua pembicara utama.

Pertama, KHS Abd. Rahim Assegaf mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy yang diwakilkan kepada khalifahnya, Syekh Imran Abdillah, S.Sos. I. Kedua, Prof M. Hamdar Arraiyah, M.A., APU peneliti Senior BRIN yang juga Ketua Komisi Pengkajian,Penelitian dan Pengembangan MUI Kota Makassar.

Perspektif Syekh Yusuf, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat manusia sempurna melalui suluk yang bukan hanya pada tingkat keagamaan lahiriah tetapi secara batiah melalui kesucian jiwa yang dalam bahasa Bugis diistilahkan dengan Padecengi Atinmu, tegas Syekh Imran.

Khalifah Puang Makka ini kemudian mengerecutkan penjelasannya kesetaraan manusia di bumi terwujud setelah hambah menggapai puncak alMa’iyah dan al-Ihathah sebagai aktualisasi kesertaan Tuhan bersama hambanya di manapun dia berada.

Kesertaan atau lebih tepatnya kebersamaan Allah dengan hamba-Nya adalah seperti kebersamaan ruh dengan jasad.

Demikian halnya tentang terbatasnya Allah dengan semuanya seperti terbatasnya yang disifati dengan sifat-Nya.

Misalnya kayu bakar, kayu bakar berdiri sendiri sedangkan api berdiri dengan kayu bakar.

Akan tetapi, pada dasarnya bahwa api tetap api dan kayu bakar itu tetap kayu bakar.

Jadi Allah memang berada di mana-mana dan bersama dengan hamba-Nya, namun kebersamaan tersebut bukan dalam konsep hulul tapi taqarrub karena betapapun hamba yang sudah mengalami maqam tersebut, tetaplah dia hamba. Seorang hamba tidak bisa berwujud Tuhan. Wallahul Muwaffi q Ila Aqwamit
Thariq.(*)

Perspektif Syekh Yusuf, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat manusia sempurna melalui suluk yang bukan hanya pada tingkat keagamaan lahiriah tetapi secara batiah melalui kesucian jiwa yang dalam bahasa Bugis diistilahkan dengan Padecengi Atinmu.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved