Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Jejak Rasionalisme dalam Pemikiran Modern

Ia menanggapi arus keraguan itu bukan dengan menyerah, melainkan menjadikannya metode berpikir. 

Editor: Sudirman
Ist
20250724 - Aulia Magfira Ramadani Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra 

Oleh: Aulia Magfira Ramadani 

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra

TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam sejarah filsafat Barat, René Descartes menempati tempat khusus sebagai sosok yang sering disebut Bapak Filsafat Modern. 

Lewat Meditations on First Philosophy (1641) dan Discourse on the Method (1637), Descartes menawarkan cara baru bagi manusia untuk menemukan pengetahuan yang pasti, bebas dari keraguan, sekaligus melepaskan rasio dari cengkeraman otoritas dogmatis Abad Pertengahan.

Descartes lahir di masa yang dipenuhi skeptisisme.

Ia menanggapi arus keraguan itu bukan dengan menyerah, melainkan menjadikannya metode berpikir. 

“Cogito, ergo sum” Aku berpikir, maka aku ada bukan sekadar slogan, melainkan dasar pengetahuan yang berangkat dari keraguan paling radikal, yang justru membawa manusia pada kepastian paling mendasar: keberadaannya sebagai subjek yang berpikir.

Metode rasional yang ia rumuskan mulai dari keraguan radikal, memecah masalah, mengurutkan pemikiran dari yang sederhana ke yang rumit, hingga prinsip verifikasi menandai lahirnya pendekatan ilmiah modern.

Cara berpikir ini memengaruhi geometri analitik, bahkan membuka jalan bagi revolusi ilmu pengetahuan alam.

Tentu, metode Descartes juga menuai kritik. Beberapa filsuf pragmatis menganggap keraguannya pada dunia luar terlalu abstrak dan terputus dari realitas empiris.

Meski begitu, warisannya membangkitkan kesadaran bahwa akal manusia punya otonomi, sekaligus memicu perdebatan panjang soal batas rasio dan pengalaman.

Rasionalisme Descartes berdiri di atas keyakinan bahwa akal budi adalah sumber pengetahuan sejati.

Baruch de Spinoza melengkapi kerangka ini dengan konsep pengetahuan imajinatif, rasional, dan intuitif.

Sementara itu, empirisisme yang diwakili John Locke dan David Hume menekankan peran pengalaman inderawi.

Perdebatan dua kutub ini memuncak pada abad ke-18 lewat Aufklärung atau Zaman Pencerahan.

Immanuel Kant datang sebagai penengah dengan filsafat kritisisme. Ia menawarkan sintesis: pengetahuan memang berawal dari pengalaman, tapi harus disaring oleh kerangka bawaan rasio.

Moto Kant, “Sapere aude!” beranilah menggunakan akalmu sendiri menjadi semangat untuk membebaskan manusia dari ketergantungan intelektual.

Bagi Kant, rasionalitas tidak berhenti pada logika, tapi menjadi dasar etika universal dan kebebasan moral.

Pencerahan bukan cuma urusan para filsuf, tapi juga gerakan sosial. Voltaire berdiri di barisan depan melawan fanatisme agama dan tirani, menegaskan bahwa kebebasan berpikir adalah hak dasar manusia.

Denis Diderot, lewat proyek Encyclopédie, menunjukkan bahwa pengetahuan bisa menjadi senjata untuk melawan kebodohan yang dilembagakan.

Encyclopédie lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi gereja atas ilmu dan pendidikan.

Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau mengambil posisi yang agak berbeda. Ia justru mengkritik keyakinan Pencerahan bahwa kemajuan teknis otomatis membawa kemajuan moral.

Menurutnya, peradaban sering malah menjauhkan manusia dari keaslian dan solidaritas.

Rousseau menekankan bahwa kebebasan sejati lahir dari kesadaran kolektif lewat volonté générale, bukan hanya kebebasan individu.

Montesquieu menambah fondasi politik modern lewat gagasan trias politica: pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Konsep ini jadi kerangka demokrasi konstitusional sampai sekarang, termasuk di Indonesia.

Dari Kant, lahir generasi idealis Jerman seperti Fichte, Schelling, dan Hegel. Fichte memperluas gagasan Kant dengan Wissenschaftslehre, refleksi kritis tentang pengetahuan, menekankan bahwa subjek (ego) aktif membentuk realitas.

Schelling melihat alam sebagai bagian dari roh mutlak, seolah mengantisipasi krisis ekologi modern dengan menempatkan alam dalam kesadaran manusia.

Hegel, lewat dialektikanya, memandang sejarah sebagai drama gagasan: tesis, antitesis, sintesis.

Baginya, pertentangan bukan bencana, tapi syarat lahirnya kesadaran baru yang membawa manusia pada kebebasan lebih tinggi. “Apa yang rasional itulah yang nyata,” katanya, yang berarti rasio dan realitas terikat dalam gerak sejarah.

Auguste Comte meneruskan semangat Pencerahan ke ranah sosiologi dengan hukum tiga tahap: teologis, metafisik, dan positif.

Menurutnya, masyarakat modern harus ilmiah, rasional, empiris, dan terorganisir.

Herbert Spencer menambahkan gagasan evolusi sosial: masyarakat berkembang dari bentuk sederhana ke kompleks, mirip organisme hidup.

Dari sini lahir penjelasan bahwa hukum, ekonomi, dan politik saling terkait dan tumbuh melalui diferensiasi fungsi.

Durkheim, tokoh sosiologi modern, menegaskan bahwa masyarakat bisa dikaji dengan cara ilmiah seperti alam.

Fakta sosial baginya adalah sesuatu yang nyata, bisa diamati, diukur, dan diuji secara objektif.

Sejarah pemikiran modern mengajarkan bahwa akal bukan sekadar alat logika, tapi motor untuk melawan ketidakadilan, kebodohan, dan penindasan.

Namun, warisan Pencerahan pun perlu dikritisi. Tantangan hari ini mulai dari krisis ekologi, polarisasi politik, algoritma digital, sampai pengetahuan palsu menuntut kita tak hanya mengandalkan rasionalitas teknis, tapi juga menumbuhkan kebijaksanaan etis.

Menjadi rasional hari ini artinya bukan cuma berpikir deduktif, tapi juga berani mempertimbangkan manfaat, moralitas, dan kemanusiaan.

Rasio perlu berdampingan dengan kepekaan sosial, keberlanjutan ekologi, dan penghargaan pada keragaman budaya.

Sejarah pemikiran modern adalah sejarah perlawanan yang tak pernah selesai. Sapere aude! bukan sekadar semboyan abad ke-18, tapi ajakan abadi bagi siapa saja yang menolak tunduk pada dogma, fanatisme, dan otoritarianisme baru.

Di tengah kabut disinformasi dan polarisasi, menjaga nyala Pencerahan berarti merawat ruang dialog, membela ilmu pengetahuan, dan menanamkan etika berpikir kritis di ruang publik.

Hanya dengan itu akal, warisan terbesar umat manusia, tetap bisa jadi cahaya penuntun.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved