Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Parepare adalah Kota Damai, Bukan Intoleran Apalagi Sengketa

Belakangan muncul narasi yang menyudutkan Parepare sebagai kota intoleran, bahkan melabelinya sebagai “kota sengketa.”

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Hannani Yunus Rektor UIN Parepare/Ketua PCNU Kota Parepare 

Oleh: Hannani Yunus

Rektor UIN Parepare/Ketua PCNU Kota Parepare

TRIBUN-TIMUR.COM - KOTA Parepare selama ini dikenal sebagai Kota Cinta, bukan hanya karena kisah abadi Presiden B.J. Habibie dan Ibu Ainun, tetapi karena nilai-nilai kasih sayang, penghargaan terhadap perbedaan, dan semangat inklusif yang telah menjadi denyut nadi kehidupan sosial warganya.

Julukan ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan pantulan nyata dari etos kebersamaan dan harmoni lintas iman yang hidup dalam tradisi masyarakat Bugis Parepare.

Namun, sangat disayangkan, belakangan muncul narasi yang menyudutkan Parepare sebagai kota intoleran, bahkan secara gegabah melabelinya sebagai “kota sengketa.”

Klaim ini didasarkan pada pembacaan sempit terhadap satu potret riset, yang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas sosial yang kaya, kompleks, dan dinamis.

Perlu ditegaskan bahwa dinamika yang terjadi di Parepare bukanlah soal konflik agama atau penolakan terhadap rumah ibadah. Tidak ada larangan atas pendirian tempat ibadah yang sah dan sesuai aturan.

Salah satu isu yang kerap dijadikan dasar tuduhan adalah pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel, yang digambarkan seolah sebagai cermin intoleransi warga.

Padahal, jika ditelaah dengan jernih, penolakan itu bersumber dari kekhawatiran administratif yang dilayangkan oleh Forum Masyarakat Muslim Kota Parepare.

Sekolah tersebut bukan gereja, bukan pula tempat ibadah, melainkan lembaga pendidikan yang legalitasnya masih berproses. Pemerintah kota pun sedang aktif membantu menyelesaikan seluruh prosedur administratif agar persoalan ini bisa dituntaskan secara adil dan damai.

Sementara itu, di sisi lain, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bersama Forkopimda terus mengambil langkah nyata untuk memperkuat kerukunan antarumat beragama.

Dialog lintas iman rutin digelar, melibatkan tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan komunitas minoritas—baik dalam forum formal maupun ruang-ruang partisipatif masyarakat.

Setiap potensi gesekan sosial selalu direspons cepat dan solutif melalui mediasi dan edukasi yang mengedepankan nilai-nilai persaudaraan.

Lebih dari itu, nilai-nilai luhur Bugis seperti sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling menghargai), dan sipakamasemase (saling menyayangi dalam kesetaraan) telah lama menjadi fondasi moral masyarakat Parepare.

Dalam pandangan Bugis, memanusiakan manusia adalah ajaran yang tak boleh dikoyak oleh prasangka atau kebencian. Tak heran jika semangat kerukunan dan penghormatan lintas agama telah menjadi identitas kolektif warga Parepare.

Bahkan, tradisi saling menjaga dan membantu lintas iman menjadi kebiasaan sosial yang terus diwariskan.

Setiap tahun, saat Natal maupun Idul Fitri, warga lintas agama di sekitar gereja atau masjid turut menjaga keamanan dan suasana khidmat ibadah—tanpa diminta, tanpa pamrih.

Mereka hadir karena merasa memiliki ruang iman tetangganya sebagai bagian dari rumah bersama.

Sebagai warga yang telah menetap di Parepare selama lebih dari dua dekade, saya menyimpulkan: “Parepare bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah besar bagi siapa saja yang ingin hidup damai.”

Pemerintah kota, melalui sinergi antara DPRD, Kapolres, Dandim, Kemenag, camat, hingga lurah, telah menunjukkan komitmen serius menjaga kohesi sosial.

Bahkan dalam rapat Forkopimda dan FKUB pada 30 Juni 2025, masalah Sekolah Gamaliel telah dibahas secara konstruktif dan dicapai kesepakatan damai.

Meski masih ada dinamika administratif di Dinas Pendidikan, upaya penyelesaian terus dikawal dalam semangat musyawarah dan keadilan.

Oleh karena itu, menggunakan data dari satu lembaga riset untuk menghakimi sebuah kota tanpa memahami konteks sosial yang utuh adalah generalisasi yang keliru.

Tak ada masyarakat yang steril dari dinamika, namun melabeli Parepare sebagai kota intoleran atau kota sengketa adalah penyederhanaan yang tidak adil dan jauh dari kenyataan.

Parepare adalah kota yang dirawat warganya dengan cinta, bukan curiga; dengan dialog, bukan stigma.

Menilai sebuah kota hanya dari satu isu, tanpa menyelami semangat kolektif dan denyut sosial warganya, ibarat menghakimi samudra hanya karena segenggam pasir yang keruh.

Karena cinta yang sejati tidak bertanya apa agamamu, tapi bagaimana aku bisa hidup berdampingan denganmu. Dan cinta yang demikian itulah yang telah lama menjadi ruh dari Kota Parepare.

Parepare akan terus berdiri sebagai rumah damai bagi semua—bukan hanya karena kisah dua insan, tetapi karena pelukan hangat seluruh warganya kepada sesama.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved