Opini
Memahami Konsep Perjanjian dalam Hukum: Sebuah Kajian Teoretis
Melalui perjanjian, hubungan hukum yang sah dapat dibentuk, hak-hak dilindungi, dan kewajiban dapat ditegakkan.
Oleh: Dr dr Ampera Matippanna SH MH
Alumus Fakultas Kedokteran Unhas dan Alumnus Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia/Dokter Fungsional Madya Pada BPSDM Provinsi Sulawesi Selatan
TRIBUN-TIMUR.COM - DALAM sistem hukum perdata, perjanjian merupakan elemen fundamental yang mengatur berbagai bentuk interaksi hukum antar individu maupun badan hukum.
Melalui perjanjian, hubungan hukum yang sah dapat dibentuk, hak-hak dilindungi, dan kewajiban dapat ditegakkan.
Pemahaman terhadap konsep perjanjian tidak hanya penting dalam praktik hukum, tetapi juga menjadi fondasi bagi berbagai bidang kehidupan, termasuk bisnis, pemerintahan, dan pelayanan publik.
Konsep Dasar Perjanjian
Secara normatif, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Definisi tersebut mengandung unsur-unsur penting yang saling terkait, yaitu perbuatan hukum, kesepakatan, mengikatkan diri, dan akibat hukum.
Keempat unsur ini bukan hanya komponen teknis, tetapi juga merepresentasikan struktur logis dari terbentuknya suatu hubungan perjanjian yang sah menurut hukum.
Perbuatan Hukum sebagai Dasar
Perjanjian termasuk dalam kategori perbuatan hukum, yaitu tindakan manusia yang dilakukan dengan kesadaran dan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum.
Dalam konteks perjanjian, perbuatan hukum diwujudkan melalui interaksi para pihak yang memiliki tujuan hukum, seperti menjual, membeli, menyewa, meminjam, atau bekerja sama.
Tanpa adanya unsur kehendak untuk menimbulkan akibat hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai perjanjian dalam arti hukum.
Kesepakatan sebagai Syarat Fundamental
Setelah perbuatan hukum dilakukan, syarat utama lahirnya perjanjian adalah kesepakatan.
Kesepakatan atau konsensus merupakan pertemuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
Kesepakatan harus diberikan secara sukarela, tanpa paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
Dengan demikian, perjanjian tidak hanya soal tindakan, tetapi juga soal kemurnian niat dan kebebasan kehendak.
Mengikatkan Diri sebagai Komitmen Hukum
Hasil dari kesepakatan adalah pernyataan saling mengikatkan diri. Artinya, para pihak bersedia dan siap untuk tunduk terhadap ketentuan yang telah disepakati.
Dalam tahap ini, perjanjian mulai bersifat mengikat dan menimbulkan tanggung jawab hukum.
"Mengikatkan diri” bukan sekadar janji moral, tetapi bentuk komitmen yuridis yang dapat dimintai pertanggungjawaban apabila dilanggar.
Akibat Hukum sebagai Konsekuensi
Perjanjian yang sah menimbulkan akibat hukum berupa lahirnya hak dan kewajiban yang berlaku bagi para pihak.
Ketika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi), maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau bahkan pembatalan perjanjian.
Asas pacta sunt servanda yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ini menunjukkan bahwa akibat hukum dari perjanjian memiliki kekuatan mengikat yang tinggi.
Keterkaitan Unsur-unsur Perjanjian
Keempat unsur tersebut memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Perbuatan hukum adalah tindakan awal yang membuka kemungkinan terjadinya kesepakatan.
Dari kesepakatan itulah muncul komitmen untuk mengikatkan diri, dan komitmen tersebut secara langsung melahirkan akibat hukum.
Tanpa adanya salah satu dari unsur tersebut, maka struktur perjanjian akan pincang dan tidak memiliki kekuatan hukum yang sempurna.
Oleh karena itu, perjanjian dalam hukum harus dilihat sebagai suatu sistem utuh yang dibangun atas dasar kehendak bebas, kesepakatan yang sah, komitmen mengikat, dan konsekuensi hukum yang jelas.
Penutup
Perjanjian dalam hukum bukan hanya soal pertukaran janji atau transaksi biasa. Ia merupakan struktur hukum yang kompleks, tetapi terukur dan sistematis.
Pemahaman yang baik terhadap unsur-unsurnya—yakni perbuatan hukum, kesepakatan, pengikatan diri, dan akibat hukum—akan membantu para pihak dalam menyusun, melaksanakan, dan menegakkan perjanjian secara adil dan sah.
Dalam praktiknya, kejelasan konsep perjanjian juga menjadi alat perlindungan hukum bagi masyarakat dalam mengatur hak dan kewajiban mereka secara tertib dan bermartabat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.