Opini
Tantangan Toleransi Beragama: Menyikapi Perusakan Rumah Ibadah di Sukabumi
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa intoleransi masih menghantui masyarakat Indonesia.
Oleh: Nita Amriani
Magister Agama dan Lintas Budaya UGM
TRIBUN-TIMUR.COM - Pada 27 Juni 2025, sebuah insiden yang mengganggu kedamaian sosial terjadi di Kampung Tangkil, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat.
Rumah milik Maria Veronica Ninna, yang digunakan untuk kegiatan retret umat Kristen, dirusak oleh sejumlah warga setempat.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa intoleransi masih menghantui masyarakat Indonesia.
Kasus ini bermula dari aktivitas ibadah yang dilakukan tanpa izin resmi sebagai tempat ibadah.
Namun, alasan ini tidak dapat dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap perusakan fasilitas pribadi dan simbol keagamaan.
Bagi penulis, ini mencederai hak asasi manusia, khususnya kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan yang termaktub dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2.
Tindakan pembubaran dan perusakan fasilitas dan simbol keagamaan berpotensi memicu ketegangan antarumat beragama di Indonesia.
Kebebasan beragama bukan hanya milik hak individu, tetapi hak untuk hidup berdampingan yang bertoleransi.
Penting untuk diingat bahwa proses ibadah, baik yang dilakukan di tempat ibadah resmi maupun di tempat lain yang tidak memiliki izin, seharusnya tidak menjadi alasan untuk melakukan kekerasan.
Lebih lanjut, perusakan yang terjadi tidak hanya melukai pemilik rumah dan peserta retret, tetapi juga melukai nilai-nilai kerukunan yang selama ini di jaga oleh masyarakat.
Untuk menyelesaikan konflik, kita harus memahami kenapa konflik ini terjadi dan bagaimana langkah-langkah penyelesaiaanya. Penulis akan menjelaskan melalui teori Conflict Triangle yang diperkenalkan oleh John Galtung.
Analisis Konflik Menggunakan Teori Conflict Triangle
Dalam konteks ini, penting untuk melihat peristiwa ini melalui teori analisis perdamaian yang diajukan oleh John Galtung, seorang tokoh utama dalam studi perdamaian dan konflik.
Teori ini dikenal dengan Conflik Triangle. Teori ini membagi membagi konflik menjadi tiga dimensi yang saling terkait, diantaranya: sikap, perilaku dan konteks. Tiga elemen ini akan memberikan gambaran menyeluruh tentang akar masalah dan potensi solusi yang dapat diambil.
Pertama, dimensi sikap, kita melihat ketegangan antara kelompok yang menyelenggarakan retret dan masyarakat setempat.
Sikap yang berkembang di kalangan warga cenderung negatif terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan di rumah milik Maria Veronica Ninna, yang merasa kegiatan tersebut tidak memiliki izin dan menganggu ketertiban.
Ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap kegiatan yang dianggap berbeda ini memperburuk hubungan antara kedua kelompok.
Di sisi lain, kelompok yang menyelenggarakan retret munungkinkan merasa tidak dihargai dan terpinggirkan karena keyakinan mereka dipertanyakan, yang pada akhirnya memperburuk ketegangan yang ada.
Kedua, dimensi perilaku, kita dapat melihat eskalasi yang terjadi ketika ketegangan ini berpuncak pada tindakan kekerasan.
Warga yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut mengambil langkah dengan merusak rumah dan property milik Ninna, serta mengintimidasi pasa peserta retret.
Perilaku ini menunjukkan bagaimana ketegangan yang tidak dikelola dengan baik dapat berjuang pada tindak kekerasan, yang tidak hanya merusak fisik tetapi juga merusak hubungan antar individi dan kelompok dalam masyarakat.
Ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai dan dialog mengarah pada perusakan yang akhirnya merugikan banyak pihak.
Ketiga, konteks sosial, politik dan historis dari konflik ini memberikan gambaran lebih dalam mengapa ketegangan ini terjadi.
Di Indonesia, perbedaan agama dan pemahaman tentang kebebasan beragama sering kali menjadi sumber ketegangan, apalagi jika kegiatan keagamaan dilakukan di tempat yang tidak terdaftar secara resmi sebagai tempat ibadah.
Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai izin kegiatan keagamaan di rumah pribadi menambah kebingungan dan ketegangan.
Ketidakmampuan sistem hukum dan pemerintahan unutk menyediakan regulasi yang jelas terkait kegiatan ibadah di luar tempat ibadah formal membuka ruang untuk konflik.
Selain itu, ketegangan antar kalompok agama yang belum sepenuhnya terselesaikan juga memberikan konteks sosial yang mendasari timbulnya perasaan curiga dan takut di kalangan warga.
Melalui teori analisis perdamaian ini, kita dapat melihat bahwa perusakan rumah di Cidahu bukan hanya sekadar masalah kekerasan fisik, tetapi juga mencerminkan masalah ketidakadilan struktural yang harus diselesaikan.
Untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan adil, penting untuk melibatkan semua pihak dalam proses dialog dan reformasi sistem yang lebih inklusif, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinannya dengan aman dan dihormati.
Pendekatan ini, yang mengintegrasikan prinsip-prinsip perdamaian dari Galtung, akan membantu mencegah terjadinya kekerasan serupa di masa depan dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang menjaga keberagaman dan toleransi antarumat beragama.
Selain itu, regulasi yang jelas terkait izin kegiatan keagamaan di tempat pribadi harus segera diperjelas oleh pemerintah.
Tujuannya untuk menghindari kesalapahaman sehingga memicu ketegangan dalam masyarakat.
Jika upaya dialog dan penyuluhan tidak memadai, mediasi oleh pihak ketiga yang netral, seperti tokoh agama atau tokoh masyarakat, sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah dan menemukan solusi yang damai.
Jika langkah-langkah tersebut gagal, jalur hukum yang adil bisa dipertimbangkan engan tetap memperhatikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Setelah penyelesain konflik, perlu adanya upaya rekonsilasi di antara komunitas yang terlibat.
Proses ini bertujuan untuk memulihkan hubungan antar pihak yang berseteru dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan konflik dapat diselesaikan secara damai, serta menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan mampu hidup berdampingan meskipun memiliki perbedaan agama dan keyakinan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.