Opini
Memisah Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah
Putusan ini mengubah paradigma “pemilu serentak lima kotak” yang selama ini menjadi praktik umum.
Namun tentu saja tantangan besar pasca putusan juga sedang menanti. Keputusan berani seperti ini menuntut kesiapan menyeluruh dari semua pihak: negara, penyelenggara, partai, dan masyarakat.
Pertama, dari sisi hukum dan perundang-undangan, kita tak bisa berjalan di atas aturan lama. Undang-Undang Pemilu dan Pilkada harus direvisi.
Sistem masa jabatan, jadwal pemilu, mekanisme pencalonan, dan pembiayaan negara harus disesuaikan. Tanpa regulasi yang jelas dan berpandangan ke depan, pemisahan ini rawan menimbulkan kebingungan dan konflik.
Kedua, kapasitas penyelenggara pemilu harus ditingkatkan. Komisi Pemilihan Umum dan jajaran ad hoc-nya akan menghadapi kerja ganda.
Jika sumber daya tidak diperkuat dan logistik tidak direncanakan matang, maka pemisahan ini hanya menambah beban tanpa menyelesaikan masalah lama. Alih-alih meringankan, bisa jadi menyulitkan.
Ketiga, yang paling penting: membangkitkan kesadaran rakyat. Pemilu yang dilakukan dua kali dalam lima tahun berisiko menimbulkan kelelahan politik. Bisa saja partisipasi menurun, antusiasme pudar, atau bahkan muncul rasa jenuh.
Maka, pendidikan politik harus lebih digencarkan, tidak hanya menjelang pemilu, tetapi terus-menerus.
Rakyat harus diyakinkan bahwa dua momen memilih ini bukan beban, melainkan kesempatan untuk berperan lebih besar dalam dua tingkat kepemimpinan.
Dari sisi politik praktis, putusan ini mengguncang kenyamanan. Selama ini, banyak partai menggantungkan kemenangan lokal dari efek tokoh nasional.
Dengan pemisahan, calon lokal tak bisa lagi menumpang pada citra presiden atau partai pusat.
Mereka harus membangun kepercayaan sendiri. Inilah ujian bagi kaderisasi politik yang sehat.
Di sisi lain, ada pula kekhawatiran. Biaya pemilu akan bertambah. Kampanye akan berlangsung dua kali.
Logistik akan didistribusi dua kali dan ongkos demokrasi membengkak. Hal ini dapat membuka ruang bagi politik uang, bagi praktik-praktik transaksional yang justru merusak nilai luhur pemilu.
Maka pengawasan harus lebih ketat, regulasi harus lebih tegas, dan transparansi harus lebih kuat.
Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 adalah langkah besar yang bisa jadi awal dari demokrasi yang lebih sehat.
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.