Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mahkamah Konstitusi

Tak Hanya Dosen HTN UMI, PKS Juga Sorot Putusan MK Pisahkan Pemilu Lokal dan Nasional

PKS mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang pemisahan jadwal Pemilu untuk pengisian anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok PKS/Imran Eka
MASA JABATAN DPRD- Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru dan Dosen Hukum Tata Negara UMI, Dr Imran Eka Saputra menilai MK tidak berwenang memperpanjang masa jabatan anggota DPRD di luar siklus Pemilu lima tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal) mulai 2029. 

Sebab, putusan ini berpotensi menambah masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi. 

Penambahan masa jabatan ini sekitar 2 hingga 2,5 tahun. 

Akibat penambahan masa jabatan ini bertentangan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. 

“Pasal ini menegaskan prinsip periodisasi pemilu setiap 5 tahun, termasuk untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan DPRD. Artinya masa jabatan anggota legislatif dibatasi 5 tahun. Perpanjangan masa jabatan secara otomatis berisiko melanggar prinsip periodisasi kekuasaan dalam demokrasi konstitusional,” katanya. 

Jika ada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa melalui mekanisme pemilu lima tahunan, lanjut Doktor Imran, maka hal itu berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945. 

“Karena mengganggu siklus demokrasi lima tahunan, menambah masa jabatan tanpa mandat rakyat, dan melanggar asas pemilu yang bebas, berkala, dan legitimatif,” katanya. 

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini juga menyampaikan MK tidak berwenang sebagai positive legislature

“Dalam sistem hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi negative legislator, artinya tugas utama MK adalah menilai konstitusionalitas suatu norma hukum (biasanya dalam Undang-Undang) terhadap UUD 1945. Jika norma dianggap bertentangan dengan UUD, MK dapat membatalkan (menghapus) norma tersebut (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). MK tidak boleh membuat norma baru atau merancang ketentuan baru, karena itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (legislatif dan pemerintah),” katanya.

Menurutnya, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD yang hanya bersandar pada Putusan MK, tanpa diikuti perubahan norma dalam UU oleh pembentuk undang-undang, berisiko melanggar prinsip konstitusional. 

“MK bukan pembuat norma baru (positive legislator), dan kebijakan semacam itu seharusnya berada dalam ranah open legal policy pembentuk undang-undang, sepanjang tidak menyimpang dari Pasal 22E UUD 1945 tentang siklus pemilu lima tahunan,” katanya.

Hal yang lain tak kalah penting adalah penambahan masa jabatan ini tak adil kepada kepala daerah masa jabatan 2021-2026. 

Masa jabatan mereka dipotong sekitar 1 tahun. 

“Kini dengan alasan keserentakan, keputusan MK berpotensi menambah masa jabatan anggota DPRD. Sehingga, ini tak ada untuk anggota DPRD masa lalu. Seperti anggota periode 1997-2003 yang berhenti masa jabatannya 1999 karena alasan pemilu ulang,”katanya. 

Dalam preseden pemilu, masa jabatan anggota DPRD adalah pemotongan bukan perpanjangan. 

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal) mulai 2029. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved