Opini
Plastik: Antara Kebutuhan dan Polusi
hari ini 5 Juni 2025 merupakan Hari Lingkungan Hidup se Dunia yang awalnya ditetapkan dalam Sidang Umum PBB tahun 1972
Opini untuk Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2025
Oleh: Muhammad Arsyad
(Guru Besar Fisika Ekosistem Karst di Jurusan Fisika FMIPA UNM Makassar)
TRIBUN-TIMUR.COM- Sejatinya, hari ini 5 Juni 2025 merupakan Hari Lingkungan Hidup se Dunia yang awalnya ditetapkan dalam Sidang Umum PBB tahun 1972 untuk menandai pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm.
Penetapan 5 Juni sebagai Hari Lingkungan merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan dan mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia, membutuhkan lebih banyak orang untuk memberikan atensi terhadap lingkungan.
Sehingga setiap tahun diangkat tema berbeda yang bertujuan menggugah kesadaran umat manusia untuk selalu menjaga ekosistem bumi demi kelangsungan hidup manusia.
Hari Lingkungan Hidup se Dunia pada tahun 2025 ini difokuskan pada upaya mengakhiri polusi plastik dengan tema Ending Plastic Pollution yang dipusatkan di Republik Korea sebagai tuan rumah perayaan global dan merupakan kali kedua menyelenggarakan peringatan global sebelumnya pada tahun 1997 dengan tema “Untuk Kehidupan di Bumi."
Penunjukan Republik Korea sebagai tuan rumah tahun ini karena selama 28 tahun terakhir, negara ini telah membuat kemajuan luar biasa dalam meningkatkan kualitas air dan udara, mengelola bahan kimia dengan aman, serta melindungi dan memulihkan ekosistem.
Saat ini, berdasarkan pengalaman selama puluhan tahun – seperti yang dimaklumi - dalam melibatkan bisnis melalui tanggung jawab produsen yang diperluas, Republik Korea adalah salah satu negara yang memimpin upaya untuk mengatasi limbah plastik.
Strategi plastik siklus hidup penuh negara ini bertujuan untuk mengatasi setiap tahap dalam siklus hidup plastik, mulai dari produksi dan desain hingga konsumsi, penggunaan kembali, dan daur ulang.
Strategi ini menyatukan pemerintah, bisnis, dan konsumen untuk membentuk kembali bagaimana plastik digunakan dan dibuang.
Dengan mengatasi penambahan limbah di sumbernya, memperluas upaya daur ulang, dan mempercepat transisi ke ekonomi sirkular, Republik Korea mengambil tindakan tegas untuk mengurangi polusi plastik dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.
Tanggal 22 April 2024, penulis memberi catatan di harian ini dengan judul Planet vs Plastik yang intinya memperlihatkan bagaimana plastik sebagai ancaman terhadap planet yang didiami manusia. Plastik di satu sisi merupakan bahan yang dibutuhkan pada hampir semua aspek kehidupan.
Mulai dari kebutuhan dasar sampai tersier, misalnya wadah sebagai pengganti gelas dan seterusnya. Sedangkan di sisi lain, seperti yang dimaklumi adalah bahan yang sulit untuk diuraikan dalam tanah.
Plastik merupakan material yang baru secara luas dikembangkan dan digunakan sejak abad ke-20 yang berkembang secara luar biasa penggunaannya dari hanya beberapa ratus ton pada tahun 1930-an, menjadi 150 juta ton/tahun pada tahun 1990-an dan 220 juta ton/tahun pada tahun 2005 dan Indonesia diprediksi akan menerima 800.000 ton plastik pada 2025.
Angka yang cukup fantastis untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Bahkan semakin besar kebutuhan manusia akan minyak sebagai bahan makanan, air isi ulang, sampai tempat penyimpan makanan, maka kebutuhan plastik juga semakin menaik.
Selama beberapa dekade, polusi plastik telah merembes ke setiap sudut dunia, meresap ke dalam air yang kita minum, makanan yang kita makan, dan tubuh kita.
Meskipun polusi plastik merupakan masalah utama, polusi plastik juga merupakan salah satu tantangan lingkungan yang paling dapat diperbaiki saat ini, dengan beberapa solusi yang jelas.
Polusi plastik memperburuk dampak mematikan dari tiga krisis planet: krisis perubahan iklim, krisis alam, hilangnya lahan dan keanekaragaman hayati , serta krisis polusi dan limbah.
Secara global, diperkirakan 11 juta ton limbah plastik bocor ke ekosistem perairan setiap tahun, sementara mikroplastik terakumulasi di tanah dari limbah dan tempat pembuangan sampah, karena penggunaan plastik dalam produk pertanian.
Biaya sosial sekitar US$300 miliar dan biaya lingkungan tahunan sekitar US$600 miliar dari polusi plastik. The Conversation memberi laporan, bahwa saat ini permintaan plastik terus meningkat.
Selama empat dekade terakhir, produksi plastik global meningkat empat kali lipat.
Dengan 380 juta ton per tahun, kita memproduksi plastik 190 kali lebih banyak daripada yang kita lakukan pada 1950.
Jika permintaan plastik terus tumbuh secara konsisten sebesar 4 persen per tahun, emisi dari produksi plastik akan mencapai 15 persen dari emisi global pada 2050 mendatang.
Dalam sebuah laporan, “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” yang dirilis oleh The Center International Environmental Law. Sebuah organisasi nirlaba menyebutkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari siklus produksi hingga pembuangan plastik terus meningkat.
Hingga mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2.
Itu setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 buah pembangkit listrik tenaga batu bara, di tahun 2050.
Berdasarkan catatan ilmuwan, plastik memiliki siklus hidup yang panjang. Resin plastik berasal dari minyak bumi yang melalui proses ekstraksi dan penyulingan. Sehingga mendapatkan berbagai macam turunan minyak dan gas bumi.
Termasuk salah satunya adalah nafta yang merupakan bahan baku pembuatan plastik.
Nafta kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan pelet atau resin plastik.
Proses ekstraksi, pemurnian hingga produksi pelet plastik ini membutuhkan energi yang besar, sehingga menghasilkan emisi karbon yang juga besar.
Setelah menjadi pelet plastik, proses selanjutnya adalah mengirimkan pelet-pelet plastik ini ke tempat pengolahan dan pencetakan yang pada gilirannya diolah dan dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Dalam skala dunia, penelitian menunjukkan bahwa plastik menghasilkan jejak karbon sebesar 1.781 million metric ton CO2. Sedangkan 60 persen dari emisi ini dihasilkan saat proses produksi dan transportasi minyak bumi hingga menjadi pelet-pelet plastik. Namun, strategi untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) daur hidup plastik belum dievaluasi dalam skala global.
Sejatinya, beberapa upaya yang dilakukan untuk menangani permasalahan sampah plastik saat ini hanya fokus pada penanganan di hilir saja.
Beberapa di antaranya pun masih berkutat pada solusi-solusi semu seperti teknologi termal dan daur ulang plastik yang tidak aman.
Industri pengolahan plastik menjadi hulu prioritas untuk mengendalikan jejak emisi karbon yang dilepas dari produksi pengolahan plastik.
Industri harus sudah mulai memikirkan bagaimana melakukan efisiensi konsumsi energi dalam setiap tahap pengolahan produk seperti transisi ke sistem zero-carbon. Perlunya mengintegrasikan strategi energi, material, daur ulang, dan manajemen permintaan untuk mengekang peningkatan emisi GRK siklus hidup dari plastik.
Sejatinya, Peraturan Wali Kota Makassar Nomor 21 Tahun 2023 tentang pelarangan menggunakan kantong plastik, mulai berlaku pada tanggal 31 Mei 2023, namun regulasi ini masih harus dioptimalkan penerapannya.
Laporan yang dirilis oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menjelaskan bahwa sistem ‘zero waste’ adalah cara tercepat dan paling terjangkau untuk mengupayakan agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C. Potensi pengurangan emisi karbon dari pengelolaan sampah secara global telah dikaji dengan mengambil studi kasus dari 8 kota di dunia, salah satunya Bandung, di mana menunjukkan bahwa rata-rata kota-kota ini bisa mengurangi emisi GRK sebesar 84 persen pada tahun 2030, bila strategi zero waste diterapkan secara penuh.
Sektor pengelolaan sampah menyumbang sekitar 3.3 persen emisi gas rumah kaca (GRK) global, dan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar kelima. Perbaikan sistem pengelolaan seperti pengurangan pemakaian plastik, pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1.4 juta ton, setara dengan emisi dari 300 juta mobil per tahun.
Namun, angka ini tidak menghitung dampak potensial dari sistem pengelolaan sampah saat ini.
Setidaknya 70 persen dari emisi global berasal dari alur ekonomi material pada keseluruhan proses industri manufaktur, transportasi, produksi dan penanganan sampah produk dan kemasan.
Walaupun penggunaan teknologi termal membuat emisi karbon di TPA hampir tidak terjadi lagi, namun sumber emisi karbon berpindah ke insinerator itu sendiri, di mana pada tahun 2030 skenario berbasis teknologi thermal menghasilkan emisi GRK sebesar 312 ribu ton, walaupun pengurangan emisi karbon dari produksi energi telah diperhitungkan. Sumber terbesar emisi karbon dari insinerator adalah pembakaran plastik.
Hal ini karena plastik dibuat dari minyak bumi dan proses pembuatannya juga menghasilkan banyak emisi karbon. Menganggap sampah sebagai sumber energi terbarukan adalah sebuah kesalahan. Untuk setiap ton plastik yang dibakar, misalnya, akan melepaskan sekitar 3 ton CO2.
Kebutuhan plastik dan polusi yang ditimbulkannya, harus menjadi perhatian utama. Plastik yang begitu mudah mendapatkan dan menggunakannya dengan biaya relatif murah merupakan faktor pendorong. Boleh jadi biaya yang diperlukan jauh lebih besar dari pada manfaat awal yang diperoleh.
Penulis berharap agar pengambil keputusan benar-benar melakukan kajian mendalam terhadap permintaan plastik, misalnya. Artinya, penegakan regulasi harus disertai dengan reward untuk usaha yang mempunyai “niat baik” untuk pengolahannya. Pendekatan yang dilakukan tidak harus sama pada setiap kejadian.
Masyarakat lokal atau komunitas komunitas yang harus dilibatkan dan didengar “suaranya” pada setiap pengambilan keputusan.
Sejatinya, kelestarian lingkungan adalah suatu keniscayaan yang harus dijaga dan dipelihara secara terus menerus.
Sehingga, perlu dan harus terus dikumandangkan dengan lantang bahwa bumi, laut dan bahagian yang berada di antara keduanya memerlukan tangan-tangan terampil dan kebijakan cerdas dari pihak yang diberi amanah untuk terus berupaya dengan keras untuk mencari solusi. Solusi dengan refuse (menolak barang yang tidak perlu), reduce (mengurangi penggunaan barang sekali pakai), reuse (menggunakan kembali barang yang masih layak pakai), recycle (mendaur ulang sampah menjadi produk bernilai guna), dan Rot (mengolah sampah organik menjadi kompos).
Untuk itu, perubahan pola prilaku dan pola berpikir memegang peranan penting.
Perubahan prilaku mudah dilakukan, karena bisa diamati dan saling mengajak satu sama lain untuk membersihkan diri dari sifat tamak, rakus dan sifat jelek lainnya. Bumi sendiri dapat memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak dapat memenuhi ketamakan umat manusia.
Bumi dapat melakukan keseimbangan diri untuk proses hidup dan kehidupan makhluk hidup lainnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.