Mahkamah Konstitusi
Sosok Dosen UNUSIA Jakarta Abdullah Ubaid Berhasil Buat SD-SMP Gratis di Indonesia
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji memenangkan gugatan ke MK sehingga pendidikan SD-SMP gratis.
TRIBUN-TIMUR.COM- Mahkamah Konstitusi (MK) sebuah keputusan penting hari ini, Selasa (27/5/2025).
MK memutuskan pendidikan dasar 9 tahun baik negeri maupun swasta atau sekolah Sekolah Dasar-Sekolah Menengah Pertama (SD-SMP) gratis.
Hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta.
MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat cara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
"Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menegaskan ihwal negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar.
Ia mengingatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan menugaskan negara untuk membiayainya.
“Tanpa ada pemenuhan kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar, maka berpotensi menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya,” ujar Guntur.
Ia menyebut, selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri. Padahal, secara faktual, banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, seperti sekolah swasta atau madrasah swasta.
“Negara tidak boleh lepas tangan atau mengalihkan tanggung jawab pembiayaan kepada penyelenggara pendidikan swasta,” tegas Guntur.
Mahkamah menekankan, meski Pasal 34 ayat (3) UU Sisdiknas mencantumkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan wajib belajar, tanggung jawab utama tetap berada di tangan negara.
“Negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya, bahkan dalam konteks pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh swasta,” katanya.
Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.
Sosok Penggugat
Dalam salinan keputusan MK, sosok yang menggugat adalah Abdullah Ubaid Matraji dan anggotanya.
Abdullah Ubaid saat ini menjabat sebagai Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Ia juga bekerja sebagai Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.
Melalui Google Scholar, ia sudah menerbitkan sekitar 20 jurnal.
Selama ini, Abdullah Ubaid aktif mengkritik kebijakan pemerintah dan instansi yang tak berpihak kepada masyarakat.
Abdullah Ubaid Matraji pernah menyayangkan pernyataan Kemendikbudristek yang menyebut bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal karena pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan tersier.
Pendidikan, kata Ubaid, seharusnya dikembalikan ke public good sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi.
Sebagaimana amanat dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945,” kata Ubadi dalam keterangan tertulis, Jumat (17/5/2024).
JPPI juga meminta DPR RI, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
“PTNBH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT, karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT,” terang Ubaid.
JPPI mendesak Kemendikbudristek menarik Permendikbudristek No 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT.
Selanjutnya, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Jangan persekusi dan intimidasi mahasiswa yang sedang berpendapat di muka umum.
Pimpinan kampus harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan Menyusun Kembali besaran UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa. JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT.
“Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” tandasnya. (*)
Mahkamah Konstitusi
pendidikan dasar
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Jakarta
Abdullah Ubaid Matraji
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Tak Hanya Dosen HTN UMI, PKS Juga Sorot Putusan MK Pisahkan Pemilu Lokal dan Nasional |
![]() |
---|
MK Putuskan Pemilu DPRD 2031, Akademisi HTN UMI: Bertentangan Undang-undang Dasar |
![]() |
---|
MK Putuskan SD-SMP Gratis, Ubaid Matraji: Hari Bersejarah bagi pendidikan Indonesia |
![]() |
---|
Putusan MK soal UU ITE, Dosen Unismuh: Momentum Penguatan Demokrasi Digital |
![]() |
---|
Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK, Pilih Jadi Budak Korporat Dibanding Politisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.