Opini
Ironi PSU Palopo, Warga Lebih Pilih Uang daripada Masa Depan?
Hasilnya menunjukkan bahwa masih ada 56,4 persen pemilih di Kota Palopo yang percaya bahwa uang adalah penentu kemenangan calon.
Oleh: Saparuddin Santa
Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting
TRIBUN-TIMUR.COM - Ada fakta menarik yang tim kami dari lembaga survei Visi Indonesia Consulting temukan saat melakukan survei tahap akhir menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Palopo yang akan berlangsung pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Survei dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 480 responden di 9 kecamatan dan 48 kelurahan di Kota Palopo, pada periode 5–15 Mei 2025.
Hasilnya menunjukkan bahwa masih ada 56,4 persen pemilih di Kota Palopo yang percaya bahwa uang adalah penentu kemenangan calon.
Sebanyak 41,2 persen menyatakan tidak setuju dan belum tentu memilih calon yang mengandalkan uang, sisanya 2,4 persen memilih tidak menjawab atau masih ragu.
Pada periode survei sebelumnya, yaitu 10–20 April 2025, angka yang menyatakan setuju dengan money politics berada di 76,7 persen (diberitakan di media yang sama, 25 April 2025).
Salah satu penyebab turunnya persentase pemilih pragmatis adalah peringatan keras Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, kepada para calon saat menghadiri Deklarasi Pilkada Damai di KPU Kota Palopo, 7 Mei 2024.
Saat itu, Gubernur menyampaikan dengan tegas kepada para calon untuk tidak mencoba-coba menggunakan money politics, jika tidak ingin didiskualifikasi.
Meskipun terjadi penurunan, tetap saja ini merupakan angka yang signifikan. Ironisnya, mereka yang 56,4 persen ini menyatakan bersedia menerima uang, dan hanya akan memilih calon yang memberikan uang.
Saat tim kami melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), dan menanyakan, “Mengapa Anda mau menerima uang dari calon?”
Jawabannya beragam, tetapi intinya sama: para pemilih ini menganggap bahwa pemimpin yang ideal adalah “yang punya uang.” Tidak penting apakah calon tersebut memiliki pengalaman kepemimpinan atau tidak.
Tidak peduli apakah calon yang didukung punya latar belakang di pemerintahan atau tidak. Juga tidak peduli pada kualitas figur dan latar belakang calon.
Para pemilih pragmatis ini, dengan mudah dan tanpa rasa bersalah sedikit pun, menganggap bahwa menerima uang politik dari salah satu calon tidak memiliki konsekuensi moral dan tanggung jawab terhadap baik buruknya tata kelola pemerintahan di masa depan.
Situasi ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh. Sejak beberapa periode pemilihan di berbagai wilayah yang berbeda, di mana lembaga survei kami ikut serta melakukan survei perilaku pemilih, hasilnya hampir sama.
Banyak sekali calon kepala daerah yang memiliki kemampuan dan pengalaman, serta rekam jejak kepemimpinan yang baik, mesti menyerah dan kalah oleh kekuatan uang dari calon yang punya logistik besar.
Celakanya, pemerintah dan pihak penyelenggara tidak memiliki daya dan kemampuan untuk mencegah hal tersebut.
Padahal, sesungguhnya pragmatisme politik dalam bentuk money politics ini bisa dicegah jika ada niat sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.
Di banyak daerah, termasuk di Kota Palopo, dalam temuan survei kami, upaya pencegahan politik uang ini nyaris tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Beban pengawasan dan pencegahan sepenuhnya hanya diberikan kepada penyelenggara, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dengan jumlah yang sangat terbatas—3 komisioner kabupaten dan 3 komisioner kecamatan, ditambah satu pengawas di tiap desa atau kelurahan, serta pengawas di tiap TPS—tentu bukan pekerjaan mudah untuk memantau pergerakan politik uang.
Tanggung jawab pengawasan, dan terutama pencegahan ini, mestinya harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh unsur pemerintahan dan penegak hukum, juga tokoh-tokoh masyarakat, terutama tokoh agama. Bukankah menerima janji atau uang untuk tujuan mendapatkan suara adalah hal yang haram?
Mengapa para tokoh agama, khususnya para pendakwah, tidak mengampanyekan di masjid-masjid dan rumah ibadah lainnya bahwa menerima uang untuk mendapatkan suara adalah dosa?
Padahal jika ada upaya yang sungguh-sungguh, pemerintah bersama para pendakwah bisa menjadikannya sebagai materi dakwah rutin di masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya.
Sehingga masyarakat, setiap saat, merasa perlu untuk merenung dan memikirkan, bukan hanya kebutuhan sesaat, tapi juga tentang “hari pembalasan.”
Atau, mungkinkah masyarakat kita sudah tidak lagi percaya pada hari kemudian atau akhirat, di mana setiap orang akan diberikan pertanyaan dan hukuman, sekecil apa pun dosa yang telah dilakukan di dunia, termasuk menerima uang politik dari calon?
Lebih parahnya, para calon yang diharapkan bisa menjadi panutan dan tuntunan untuk membawa sebuah daerah bersih dari praktik-praktik korupsi, tak punya sedikit pun rasa malu dan takut.
Baik itu kepada penyelenggara dan pengawas Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan aparat hukum, juga tidak ada sedikit pun rasa takut pada Tuhan Yang Maha Melihat.
Masyarakat tidak pernah belajar atau melihat hasil pembangunan dari pemimpin yang terpilih karena uang.
Padahal, jejak-jejak pemerintahan yang pembangunan daerahnya hancur atau sulit maju karena wali kota dan/atau bupatinya terpilih dengan mengandalkan uang sudah terlalu banyak.
Di era digital ini, dengan mudah kita membaca di media, berapa banyak bupati dan wali kota yang berakhir di penjara. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keinginan dan perjuangan dari kaum intelektual untuk bersama-sama menghentikan proses politik uang ini.
Untuk Kota Palopo, sesungguhnya tidak ada kata terlambat. Masih ada 43,6 persen (termasuk yang 2,4 persen yang memilih tidak menjawab) masyarakat Kota Palopo yang percaya bahwa uang bukan segalanya.
Dengan komposisi empat pasang calon yang berkompetisi, peluang terpilihnya setiap calon masih dinamis.
Terlalu mahal harga yang harus dibayar masyarakat Kota Palopo jika menggadaikan harga dirinya dengan uang Rp100.000, Rp200.000, atau bahkan Rp500.000 sekalipun, dibandingkan dengan masa depan Kota Palopo selama 5 tahun dan tanggung jawab pada Tuhan. Sebuah ironi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.