Opini Aswar Hasan
Kritik Sebagai Kebebasan Berpendapat Pasca Putusan MK
Pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU ITE merupakan tindak pidana atau delik aduan.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - MK (Mahkamah Konstitusi) melarang lembaga pemerintah, institusi, korporasi, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, serta profesi atau jabatan untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Selasa (29/4/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan, pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU ITE merupakan tindak pidana atau delik aduan.
Artinya, pelanggar hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya.
Putusan ini memberikan angin segar bagi kebebasan berpendapat, termasuk dalam penyampaian kritik dari publik ke pemerintah.
Sebab, negara demokrasi akan tumbuh kalau tetap ada kritik. MK juga menekankan bahwa kritik konstruktif yang disampaikan tidak bisa dipidana dan UU ITE tidak bisa digunakan untuk hal itu.
Oleh karena itu, berdasarkan putusan MK tersebut, UU ITE tidak bisa dipakai untuk mematikan kritik ataupun membunuh perbedaan pendapat (Kompas, 30/4/2025).
Dalam negara demokrasi, kritik adalah vitamin dalam bernegara dan kebebasan berpendapat dijamin.
Namun dalam kehidupan bernegara istilah kritik baik dalam ruang publik, media sosial, hingga dunia politik kekuasaan negara, sering disalah pahami.
Tidak sedikit orang yang keliru memahami makna kritik, sehingga menganggapnya sebagai bentuk serangan atau hinaan.
Padahal, secara historis dan konseptual, kritik memiliki makna yang jauh lebih dalam dan konstruktif.
Kata "kritik" memiliki akar dari bahasa Yunani Kuno, yaitu kritikos, yang berarti “mampu menilai” atau “dapat membedakan.”
Kata ini berasal dari krinein, yang berarti “memisahkan” atau “menentukan.” Artinya, sejak awal, kritik bukanlah tentang mencela atau menjatuhkan, melainkan tentang kemampuan berpikir tajam untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang layak dan tidak layak.
Pandangan Akademisi
Dalam dunia akademik, kritik dimaknai sebagai proses analisis dan evaluasi terhadap suatu gagasan, karya, kebijakan, atau fenomena sosial dengan tujuan untuk memahami, memperbaiki, atau mengembangkan objek yang dikritisi.
Kritik tidak identik dengan kebencian atau penolakan total, tetapi lebih merupakan upaya intelektual untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik.
Akademisi dan Filsuf seperti Robert H. Ennis (1996) menyebut kritik sebagai bagian dari berpikir kritis, yakni berpikir secara logis, terbuka terhadap bukti, dan berorientasi pada kebenaran.
Kritik yang baik mengandung argumen yang jelas, data yang valid, dan niat untuk membangun, bukan sekadar menjatuhkan.
Dalam Critique of Pure Reason (1781), Kant menggunakan kritik sebagai metode untuk menelaah batas-batas kemampuan rasionalitas manusia.
Kritik, dalam konteks ini, menjadi alat untuk merefleksikan dasar-dasar pengetahuan kita.
Sementara itu, tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse, dari mazhab Frankfurt menggunakan kritik sebagai alat untuk membongkar ideologi-ideologi dominan yang menyelimuti kesadaran masyarakat.
Mereka melihat kritik bukan hanya sebagai kegiatan akademik, melainkan sebagai bagian dari perjuangan emansipatoris untuk membebaskan manusia dari penindasan struktural.
Pilar Demokrasi
kritik adalah elemen vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam sistem demokrasi. Membungkam kritik, dan meniadakan koreksi terhadap kekuasaan, akan menghambat, inovasi dan pembaruan serta membuka ruang otoriatorisme kekuasaan.
Kritik adalah nyawa dari pemikiran bebas dan dialog yang sehat dalam masyarakat demokratis.
Namun, penting pula diingat bahwa kritik harus dilakukan dengan dasar argumen yang kuat, data yang benar, dan tujuan yang jelas.
Kritik yang baik bukanlah cacian, melainkan cerminan kecintaan terhadap perbaikan dalam bernegara.
Kritik merupakan faktor kunci dalam merawat kesehatan dan keberlanjutan sistem demokrasi.
Dalam demokrasi, kekuasaan berasal dari rakyat, dan karena itu, penyelenggara negara wajib terbuka terhadap evaluasi dari publik.
Karenanya kritik berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang mendorong transparansi, akuntabilitas, serta perbaikan kebijakan dan pelayanan publik.
kritik yang sejati adalah refleksi dari kecerdasan dan keberanian berpikir suatu bangsa.
Dalam dunia yang kompleks dan penuh tantangan seperti saat ini, kemampuan untuk mengkritik secara jujur, tajam, dan bertanggung jawab sangatlah dibutuhkan oleh negara.
Oleh karena itu, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan hak fundamental yang harus dilindungi.
Demokrasi sejati tidak hanya melaksanakan pemilu, tetapi juga ruang publik yang terbuka bagi kritik yang konstruktif. Wallahu a'lam bisawwabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.