Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Tenaga Medis dalam Pertautan Etika dan Hukum

Profesi tenaga medis adalah profesi yang luhur, berakar pada prinsip melayani kemanusiaan dengan integritas dan penuh empati.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - M Aris Munandar Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin/ Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi 

Oleh: M. Aris Munandar

Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Keberadaan tenaga medis dalam pelayanan kesehatan merupakan hal sangat vital. Tanpanya, pelayanan kesehatan bisa saja terhambat sehingga keselamatan masyarakat dapat terabaikan.

Profesi tenaga medis adalah profesi yang luhur, berakar pada prinsip melayani kemanusiaan dengan integritas dan penuh empati.

Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan atau tenaga medis lainnya diikat oleh ikrar sumpah profesi serta kaidah etika kedokteran yang mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia.

Dokter sebagai salah satu tenaga medis dituntut memberikan pelayanan kesehatan secara penuh integritas dan taat hukum maupun etika profesi. 

Bahkan, terkadang dalam beberapa keadaan, seorang Dokter harus benar-benar mengatasi keadaan yang begitu pelik, misalnya menghadapi pasien gawat darurat.

Hal ini menunjukkan bahwa profesi medis dalam hal ini Dokter pada khususnya memang dianggap sebagai “pahlawan” yang mendatangkan keselamatan bagi banyak orang. Seperti slogan Omnium Salute Aegri (keselamatan pasien yang paling utama).

Perlu ditekankan terlebih dahulu, bahwa yang dimaksud dengan tenaga medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan (Vide: Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan selanjutnya disebut UU Kesehatan).

Setiap dokter di Indonesia mengucapkan janji suci dan sumpah hipokrates, serta oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang menjadi pedoman moral sekaligus kompas perilaku profesional.

Namun dalam kenyataannya, masih ditemukan pelanggaran serius oleh oknum Dokter. Ketika ini terjadi, maka relasi antara etika profesi dan hukum pidana diuji secara nyata.

Hukum berbicara tentang benar dan salah. Etika berbicara baik dan buruk. Sehingga dalam menilai sesuatu tergantung menggunakan kaca mata yang mana.

Jika menggunakan pandangan etika maka argumentasi yang ditekankan adalah mengenai baik buruknya sebuah perilaku, sedangkan pandangan hukum akan lebih banyak berkutat dengan kebenaran yang sifatnya normatif.

Sehingga untuk menilik pertautan antara etika dan hukum dalam konteks tenaga medis harus melihat dengan dua matra tersebut.
Dokter Sebagai Profesi Etis

Dokter sebagai tenaga medis merupakan profesi yang memiliki marwah dan wibawa. Sehingga dianggap sebagai profesi yang sangat etis.

Bahkan masyarakat menggantungkan nasibnya pada profesi itu ketika mengalami suatu penyakit. Dengan kepercayaan bahwa Dokter akan memberikan pertolongan dan juga harapan.

Tetapi, adanya beberapa oknum tenaga medis membuat profesi itu menjadi tercoreng bahkan titik balik dari profesi etis tersebut.

Misalnya pada kasus dugaan kekerasan seksual yang didugas dilakukan oleh oknum Dokter Obgyn di Garut saat melakukan USG (Sumber: https://www.tempo.co/).

Selain itu pada kasus lainnya, dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang Dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Terduga pelaku merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di salah satu kampus negeri di wilayah tersebut (Sumber: https://www.kompas.id/). Bahkan masih banyak kasus lainnya yang melibatkan oknum tenaga medis.

Tentunya, kita tahu bersama bahwa bukan profesinya yang salah, melainkan oknumlah yang mencoreng dan menimbulkan polemik di masyarakat.

Bahkan bukan saja pada profes medis hal tersebut bisa terjadi, pada profesi yang lainnya pun sudah banyak “oknum” nya, bahkan tak terhitung lagi berapa jumlahnya.

Padahal, setiap profesi sudah diikat oleh kode etik masing-masing. Dalam praktik pelayanan kesehatan, kewajiban tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk bertindak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi bukanlah sekadar formalitas administratif semata.

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 274 UU Kesehatan yang mengharuskan setiap tenaga medis memberikan pelayanan yang berorientasi pada kebutuhan kesehatan pasien. 

Standar-standar ini berfungsi sebagai pagar moral dan teknis yang memastikan bahwa pelayanan medis berjalan secara profesional, akuntabel, dan berlandaskan penghormatan terhadap hak-hak pasien.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini, apalagi dalam bentuk pelanggaran berat seperti kekerasan seksual, bukan hanya mencederai etika profesi, melainkan juga merupakan pelanggaran hukum yang harus mendapatkan sanksi tegas.

Oleh karena itu, setiap tenaga medis harus menyadari bahwa tanggung jawab profesionalnya tidak hanya kepada institusi atau organisasi profesi, melainkan lebih utama lagi kepada pasien sebagai subjek perlindungan hukum dan etika.

Merujuk pada Pasal 1 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) bahwa Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter.

Salah satu kutipan sumpah seorang Dokter ialah: “Demi Allah saya bersumpah, bahwa: ... Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai Dokter”.

Lafadz dari sumpah Dokter tersebut seharusnya menyentuh jiwa setiap insan yang berada di dalam profesi itu. Agar dalam menjalankan setiap tindakan medis berada dalam koridor yang telah ditetapkan secara etis.

Bentuk Penyelesaian Perkara Medis

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menghadirkan banyak hal baru. Termasuk mekanisme penyelesaian perkara atau perselisihan medis.

Sebagaimana dalam Pasal 306 ayat (3) UU Kesehatan yang menegaskan bahwa "Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Pertanyaannya kemudian ialah, perbuatan seperti apakah yang dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif itu?

Sejauh ini, baik di dalam UU Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, belum mengatur mengenai perkara medis yang dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.

Namun, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif dapat ditemui pada beberapa peraturan sektoral lainnya seperti Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dapat diduga bahwa dalam konteks UU Kesehatan, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif dikembalikan pada mekanisme peraturan sektoral masing-masing instansi yang telah ada saat ini.

Akan tetapi, persoalan lainnya adalah tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.

Sebagai contoh, dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diuraikan  bahwa Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum tenaga medis terhadap pasien tidaklah dapat diselesaikan secara keadilan restoratif, kendatipun dalam UU Kesehatan dimungkinkan hal tersebut dilakukan dalam perkara medis lainnya.

Dapat ditekankan pula bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum tenaga medis bukanlah digolongkan sebagai perkara medis semata, melainkan terkualifikasi sebagai tindak pidana yang secara umum sering dilakukan oleh pelaku lainnya, termasuk namun tidak terbatas pada tenaga medis.

Penanganannya pun harus menyesuaikan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun hal itu dilakukan oleh tenaga medis yang notabenenya berada dalam lingkup rumah sakit sekali pun.

Hanya saja memang sangat susah membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh oknum seorang Dokter terhadap Pasien ketika berada dalam satu ruangan yang tidak memiliki CCTV.

Akan tetapi, dalam doktrin res ipsa loquitur (sesuatu yang berbicara sendiri).

Sehingga betapa pun seorang pelaku mengelak dan tidak mengakui kejahatannya, namun fakta-fakta telah nyata di hadapannya maka hal itu telah menjadi pembenaran untuk membuktikan seorang pelaku yang bersembunyi dibalik jubah putih nya.

Pada prinsipnya, Dokter adalah profesi yang mulia. Sehingga perlu dijaga kemuliaannya dengan cara pengawasan secara ketat oleh organisasi profesi dan stakeholder.

Bisa dibayangkan, ketika seorang pasien yang menggantungkan nasibnya kepada seorang Dokter, justru mendapatkan tindakan yang kontra susila.

Inilah pentingnya kesadaran hukum, agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Kemurnian jubah seorang Dokter ditentukan oleh tindakan penggunanya. Menjaga marwah profesi memang sangatlah sulit, namun bukan berarti tidak bisa.

Dengan melalui penguatan dari hati dan pikiran mengenai pentingnya etika perilaku, maka semua cita-cita mulia tenaga medis dapat dicapai dengan baik

Pasien adalah insan yang membawa luka dan harapan dalam satu napas, sedangkan Dokter adalah tangan terampil yang tidak hanya mengobati tubuh yang sakit, tetapi juga membalut jiwa yang rapuh dengan ilmu, kasih sayang, dan keikhlasan.

Seperti itulah hubungan kausalitas antara Pasien dan Dokter yang diharapkan.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Teman ‘Baru’

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved