Opini
Nasib Media Penyiaran: Antara PHK, Transformasi Digital dan Ketidakberpihakan Regulasi
Konsekuensi ini akibat dari transaksi akuisisi NetTV oleh PT MD Entertainment Tbk. Hal sama juga dilakukan ANTV, menyusul hal serupa digrup MNC dan CN
Oleh: Muhammad Idris
Dosen Ilmu Komunikasi UMI, Mantan Jurnalis dan Penyiar Radio
TRIBUN-TIMUR.COM - DUNIA penyiaran Indonesia kembali mendapat ujian berat. Dipertengahan April 2025, Kompas TV, salah satu stasiun televisi berita terkemuka tanah air, terpaksa melakukan rightsizing—kebijakan restrukturisasi yang mengakibatkan ratusan karyawan dari berbagai divisi harus berpisah.
Mulai dari tim news, program, teknik, hingga sales dan marketing (Harianhaluan.id)
Sebelumnya, NetTV juga melakukan PHK karyawan pascapengunduran diri jajaran pimpinan.
Konsekuensi ini akibat dari transaksi akuisisi NetTV oleh PT MD Entertainment Tbk. Hal sama juga dilakukan ANTV, menyusul hal serupa digrup MNC dan CNN Indonesia TV.
Lembaga penyiaran publik RRI dan TVRI pernah dikabarkan lakukan hal sama, meski diralat jika tidak jadi ‘merumahkan’ karyawan.
Di Sulawesi Selatan sendiri, sejumlah media penyiaran baik radio siaran maupun televisi lokal sudah lebih dulu lakukan efesiensi anggaran sampai berujung PHK.
Bahkan ada yang sudah tutup siaran, sementara yang lain ibarat “mati segan, hiduppun sekarat”.
Padahal, media penyiaran lokal terbukti menjadi garda terdepan penjaga kebhinekaan, suara masyarakat dan benteng melawan hoaks. Namun, realitas bisnis media penyiaran hari ini tak lagi memungkinkan mereka bertahan.
Bagi penulis yang sempat berada di industri ini memang terdengar miris dan menyedihkan.
Ini bukan sekadar angka statistik. Sebab, setiap nama dibalik daftar karyawan yang terdampak adalah cerita tentang dedikasi, mimpi dan keringat yang telah dicurahkan untuk membangun kualitas jurnalisme penyiaran.
Penulis yakin, langkah ini diambil dalam situasi yang tidak mudah. Beberapa faktor diduga menjadi pemicu, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi memengaruhi
pendapatan iklan—sumber utama pemasukan media, diperkuat dengan kebijakan pengurangan alokasi belanja iklan pemerintah ke media yang berdampak signifikan.
Jika melihat lebih dalam, PHK di industri penyiaran bukan hanya persoalan ekonomi makro semata.
Sebuah obrolan di grup whatsapp mantan penyiar yang Penulis ikuti menyimpulkan, jika ini adalah buah dari kegagalan sistemik.
Regulasi yang tidak berpihak, ketidaksiapan transformasi digital serta absennya peran Komisi Penyiaran Indonesia (Pusat dan Daerah) dalam membangun ekosistem penyiaran sehat.
“Content is Key!” Benarkah Cukup? Ada yang optimis bahwa industri penyiaran akan bertahan karena content is key.
Mereka berargumen bahwa selama ada konten berkualitas, media penyiaran akan tetap dibutuhkan. Tapi benarkah demikian?
Faktanya, konten saja tidak cukup. Media penyiaran hari ini berhadapan dengan empat tantangan besar.
Diantaranya soal dampak disrupsi digital, dimana platform media sosial dan streaming mengubah kebiasaan konsumsi konten informasi.
YouTube, TikTok, FB dan Instagram mengambil alih peran TV dan radio sebagai sumber hiburan dan informasi.
Pemicu lainnya soal ketimpangan regulasi. Bagaimana media penyiaran dibebani aturan ketat, seperti kewajiban siaran lokal, sensor konten, aturan kepemilikan hingga soal pajak.
Ibarat kata, media penyiaran mainstream harus berjuang di bawah regulasi ketat, sementara platform sosial media leluasa tanpa aturan yang jelas.
Situasinya seperti & The rules is no rules, ujar seorang mantan penyiar senior digrup whatsapp.
Peran KPI/KPID juga masih dianggap nihil. Lembaga ini dinilai absen dalam membangun solusi.
Proses seleksi komisioner yang sarat kepentingan politik dan diragukan kapasitas dan integritasnya sebagai salahsatu faktor.
Padahal undang-undang penyiaran mengamanatkan lembaga ini wajib melakukan kajian ekonomi penyiaran merespons problem yang ada.
Ini hanya bisa dilakukan dengan sumber daya komisioner yang memiliki kapasitas, integritas dan jejak rekam di dunia penyiaran yang mumpuni.
Fakta lainnya, lembaga ini cenderung lebih fokus pada pengawasan konten ketimbang mencari solusi kebangkrutan stasiun TV dan radio siaran.
Yang nyaring terdengar hanyalah acara seremonial seperti pemberian award setiap tahun kepada sejumlah stasiun penyiaran.
Sikap pemerintah yang belum memiliki keberpihakan jelas, patut dipertanyakan. Alih-alih membantu, justru iklan pemerintah—yang seharusnya menjadi napas media lokal, dikurangi atau dialihkan ke platform digital.
Tidak adanya insentif bagi media yang bertransformasi digital, juga makin meredupkan industri penyiaran.
Bagaimana mungkin stasiun penyiaran TV dan radio bisa bersaing dengan platform sosial media, jika infrastruktur dan pendanaannya tidak didukung.
Jangan Biarkan Media Penyiaran Punah
Jika ingin media penyiaran bangkit, beberapa langkah mendesak mesti ditempuh pihak kompeten.
Pertama soal keberpihakan regulasi, dalam bentuk upaya menyeimbangkan aturan antara media penyiaran dan platform digital.
Alokasi iklan pemerintah harus kembali didorong ke media penyiaran.
Peran Aktif KPI/KPID yang bukan hanya sebagai pengawas konten, tapi juga problem solver ekonomi penyiaran, khususnya di daerah. Kajian rutin tentang kesehatan industri penyiaran harus dipublikasikan.
Transformasi digital wajib dapat dukungan nyata dalam bentuk insentif bagi stasiun TV dan radio yang beralih ke platform digital.
PHK di Kompas TV hanyalah puncak gunung es. Jika tidak ada intervensi serius, media penyiaran—terutama di daerah—akan semakin tergusur.
Padahal, mereka adalah penjaga demokrasi, identitas budaya dan informasi lokal.
Pemerintah dan KPI/KPID tidak boleh berdalih bahwa “Hukum tertatih-tatih mengejar teknologi”. Saatnya bertindak sebelum semuanya terlambat.
Media penyiaran butuh dukungan, bukan sekadar penghargaan simbolis.
“Content may be king, but without fair rules and real support, even the best content will perish”, yang diungkapkan Mark Thompson, tokoh penyiaran The New York Times, mengingatkanpentingnya keseimbangan antara kualitas konten dan sistem yang mendukungnya.
Mari selamatkan media penyiaran Indonesia sebelum benar-benar hilang!!!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.